Di saat kita lebih mudah untuk terhubung dengan siapa pun lewat media sosial, kesepian malah menjadi masalah umum yang terus berkembang dengan ganas. Selamat datang di paradoks kesepian.
Kita telah menjalani interaksi sosial secara "gaib". Bahkan kita mendapatkan peluang besar untuk bisa lebih dihargai ketimbang masa sebelumnya.
Ketika Anda berulang tahun, akan ada 300 notifikasi ucapan selamat ulang tahun dari teman Facebook. Sebagian ada yang benar-benar senang karena Anda bertambah dewasa, tapi sebagian yang lain mungkin merasa senang karena artinya Anda akan cepat mati.
Kendati demikian, tetap saja, Anda tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang berada di samping Anda. Dan kenyataan itu berubah menjadi rasa sakit. Anda merasa kesepian.
Pada dasarnya, orang-orang yang kesepian akan beralih ke media sosial untuk memadamkan perasaan terisolasi mereka. Karenanya, kerinduan ini dapat menyebabkan mereka yang kesepian lebih mungkin untuk berlama-lama dengan perangkatnya.
Dan apa yang kita pelajari dari pandemi ini adalah pembatasan sosial membuat media sosial menjadi tempat pelarian untuk tetap terkoneksi dengan dunia luar.
Namun, salah satu ironi terbesar dari penggunaan media sosial adalah bahwa penggunaan platform yang berlebihan sebenarnya dapat menyebabkan kita merasa lebih terkucilkan daripada yang sebenarnya mungkin terjadi.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa seiring perkembangan media sosial yang pesat, telah terjadi wabah "epidemi kesepian" di mana-mana. Kesepian ternyata terbukti lebih dari sekadar bagian dari kondisi manusia.
Mengapa bisa demikian?
Bertanya tentang apakah benar media sosial membuat kita kesepian sama seperti bertanya apakah benar bahwa makan dapat membuat kita sakit. Keduanya terdengar lucu, tapi cukup untuk menggambarkan kenyataan yang anomali.
Jawabannya relatif, tentu saja. Tidak berlaku pada semua orang dan tidak berlaku selamanya.