Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Surat untuk Cicit

Diperbarui: 7 Februari 2021   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ironi takdir | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Cicitku sayang, aku tidak tahu bagaimana rupa Bumi saat kau membaca surat ini. Tapi, yang aku tahu adalah semuanya mendekati akhir. Kau mungkin tahu bagaimana kesudahan perusakan iklim, seberapa menurunnya kondisi alam, dan mungkin tahu secara terperinci jenis-jenis hewan dan tumbuhan apa saja yang telah punah.

Di beberapa kebun binatang sekarang ini, hewan-hewan sudah semakin sedikit dan beberapa tak pernah ditemukan lagi.  Mungkin di generasimu, kebun binatang akan kembali penuh dengan hewan-hewan. Tapi itu tidak normal, mereka adalah hologram, versi paling mutakhir di dunia. Dan hewan-hewan itu bukanlah terdiri dari darah dan daging, melainkan dari sinar-sinar laser.

Kami juga sedang dilanda berbagai macam bencana. Bahkan banyak di antaranya terjadi di daerah yang janggal. Bayangkan, butiran salju turun di daerah padang pasir! Dan lagi, banjir bandang menerjang wilayah penuh hutan. Belum lagi bencana kelaparan karena pandemi, atau iklim yang tak bisa ditebak, atau keserakahan manusia yang merampas segalanya.

Alam tak berubah; proses alamiah alam berjalan dengan logikanya sendiri. Tapi, manusialah yang merusaknya. Karena kalau bukan, siapa yang bertanggung jawab terhadap meningkatnya suhu Bumi? Siapa yang bertanggung jawab atas pemanasan global yang semakin menjadi-jadi dalam beberapa dekade?

Aku akui itu, cicitku sayang, bahwa kami telah begitu candu dalam hal membakar minyak, batu bara, dan gas; menebangi hutan, dan menjalankan pertanian secara intensif. Kami tidak menyadari atau mungkin pura-pura lupa bahwa semua itu ada batasnya. Cangkir tidak pernah penuh.

Mungkin karena itu juga kendaraan manusia di generasimu akan kembali pada unta berpunuk satu atau kuda putih berotot. Aku khawatir bahwa manusia di generasiku tidak mampu menyisakan energi untuk menghidupkan mobil pada generasimu. Bagaimana kalau tidak ada alternatif?

Satu kata yang hampir-hampir tidak dipergunakan lagi ialah sebuah kata yang pendek, yaitu cukup. Kita sebaliknya menyandingkan diri kita dengan sebuah kata lain yang juga pendek. Kita berkata lagi.

Sebagaimana konsekuensi yang pastinya kamu lebih banyak tahu daripada aku, es di Greenland dan Lautan Arktik menyusut, dan perburuan sumber cadangan minyak dan gas yang baru dimulai.

Para politisi berkata bahwa kita harus terus mencari minyak sampai tetesan terakhir karena dunia membutuhkan energi lagi. Dunia membutuhkan lebih banyak minyak dan gas untuk mengentaskan orang-orang dari kemiskinan.

Tapi, mereka bohong! Pembakaran minyak dan batu bara yang dilakukan si kaya hanya akan memperparah si miskin. Perusahaan-perusahaan minyak itu dan negara-negara kaya penghasil minyaklah yang memerlukan keuntungan lebih banyak. Terus lagi, lagi.

Sayangnya, pada saat yang sama, kami juga memperturutkan kehendak bersama yang serupa. Maaf atas itu, walau tak cukup sekadar maaf.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline