Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Dzulfiqar Maulana

Mahasiswa (Universitas Muhammadiyah Kuningan) PGSD-1E

Menanggapi Kasus Pemerkosaan di Kabupaten Kuningan: Menggugah Kesadaran Masyarakat melalaui pendidikan.

Diperbarui: 20 Januari 2025   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oknum pimpinan pondok pesantren di Ciawigebang, berinisial AK menjalani pemeriksaan di Mapolres Kuningan, Sabtu (21/12) (Foto: Taufik/detikjabar)

Kasus pemerkosaan yang terjadi di Kabupaten Kuningan baru-baru init elah mengguncang banyak pihak, terutama karena melibatkan tindakan kekerasan yang tak hanya mengancam keselamatan fisik korban, tetapi juga merusak rasa aman dalam masyarakat. Kejadian-kejadian semacam ini harus menjadi bahan renungan bagi kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai bagian darisistem sosial yang lebih besar.Di lihat dari pelakunya juga sangat variatif. Malahan seringkali tidak diduga,tidak dinyana. Tidak hanya para pemuda berandal dan Pengangguran pelaku peristiwa itu. Bahkan seorang pemimpin pondok pesantren yang selama ini memiliki reputasi baik,tidak ketinggalan ikut terlibat. Mengapa? Benarkah perkosaan yang meningkatjumlahnya juga disebabkan keterlibatan mereka yang selama ini tidak diperkiran sebagai pelaku?

Korban Yang Lemah

memperkosa keponakan, karena selama ini ia membiayai sekolah Keponakannya itu, sehingga ia menganggap berhak pula memperlakukan sekehendak hati. Guru juga berani memperkosa murid, karena merasa otoritasnya tinggi untuk memperlakukan apa saja yang dimaui. Dalam kasus yang demikian ini terlihat adanya rasa superior yang menonjol. Karena itu, para feminis berkesimpulan, bahwa akar pokok terjadinya kasus pemerkosaan wanita adalah superiority feeling yang tinggi pada pria, yang menganggap wanita sebagai pihak yang lemah yang bisa diperlakukan sekehendaknya. Ada benarnya pendapat seperti itu, tetapi belum lengkap. Sebab, pada perkembangannya perkosaan tidak saja wanita korbannya, tetapi juga pria. Baik pria diperkosa oleh wanita maupun pria oleh pria dalam kasus homoseks. Juga wanita diperkosa oleh wanita dalam kasus lesbianisme.

Kasus cabul pimpinan ponpes di kabupaten kuningnan makin menguatkan anggapan bahwa pemerkosaan terjadi pada mereka yang lemah oleh mereka yang merasa lebih kuat. Bukan saja wanita dianggap lebih Iemah, kemudian diperkosa, tetapi juga karena dia memiliki status, selain status kewanitaan itu, yang lebih rendah. Itulah sebabnya, banyak santriwati yang menjadi korban seperti dikabarkan belum lama berselang. 

Sifat munafik manusia juga makin menggejala. Banyak yang secara terbuka menentang munculnya stimulasi seks, sesungguhnya ia sendiri menyukai hal itu. Bila hal ini diketahui oleh yang di tentangnya, maka semua makin menjadi-jadi. Wibawa tidak ada, bukti nyata tidak konsisten, maka rem itu tidak berfungsi secara efektif lagi. Memahami kemunafikan, bisa membantu pemahaman terhadap gejala yang terasa mengejutkan. Guru, pengajar agama, orang terpandang bisa melakukan perkosaan, karena mereka memang kelompok munafik. Khilaf? Dalih ini bisa diterima untuk kasus-kasus yang spesifik munculnya. Untuk peristiwa yang makin menggeja, makin banyak frekuensinya alasan kekhilafan perlu diuji lagi.

Pendidikan dan Kesadaran sebagai Kunci Pencegahan

Pencegahan perencanaan dimulai dari pendidikan. Kita harus mulai mendidik anak-anak dan remaja sejak dini mengenai pentingnya persetujuan dalam hubungan seksual, menghargai batasan, dan menumbuhkan empati terhadap sesama. Pendidikan seks yang komprehensif dan berbasis nilai harus menjadi bagian integral dari kurikulum Selain itu, masyarakat harus didorong untuk lebih peduli terhadap masalah ini dan mengatasi budaya yang meremehkan atau bahkan membenarkan kekerasan seksual. Mengubah sikap sosial terhadap penipuan dan kekerasan adalah langkah pencegahan yang sangat penting.

Kesimpulan

Pemerkosaan khususnya di kabupaten kuningan bukanlah masalah individu, melainkan masalah sistemik yang memerlukan perhatian dan perubahan secara luas. Untuk mencapainya, kita perlu mengubah cara kita melihat dan menangani kejahatan ini, mulai dari mengedukasi generasi mendatang hingga memperbaiki sistem hukum yang ada serta butuh kolaborasi kontribusi dari berbagai pihak. Kita harus berhenti menyalahkan korban dan mulai bertanya, "Apa yang membuat seseorang merasa berhak melakukan penipuan?" Dengan mengubah perspektif dan mengambil tindakan nyata, kita bisa menciptakan dunia yang aman dan harmonis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline