Sebagai mahasiswa yang sudah melalui berbagai dinamika di dunia kampus, rasanya tidak asing mendengar cerita mengenai dosen-dosen yang seolah memiliki 'kekuasaan' mutlak di kelas. Mereka sering dianggap seperti sosok yang berada di puncak piramida akademik, yang setiap ucapannya harus diterima tanpa pertanyaan. Namun, di balik semua itu, ada realitas pahit yang sering dialami mahasiswa: kita tidak hanya belajar ilmu akademis, tetapi juga belajar bertahan menghadapi berbagai tekanan yang sering kali tidak masuk akal.
Bayangkan saja, ketika sedang berusaha keras mengerjakan tugas atau skripsi dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Niat sudah maksimal, dengan harapan cepat menyelesaikan studi. Namun, di tengah perjuangan tersebut, muncul satu halangan yang tidak bisa dihindari: dosen yang bersikap seenaknya. Mulai dari tidak membalas email selama berhari-hari hingga tiba-tiba membatalkan bimbingan tanpa pemberitahuan. Saat kita meminta waktu untuk bimbingan, yang kita dapatkan adalah, "Mahasiswa harus memahami kesibukan dosen." Ya, dosen memang sibuk, tetapi mahasiswa pun sama sibuknya.
Di sinilah masalah mulai muncul. Dosen sering kali diposisikan seperti sosok yang tidak bisa disentuh. Apa pun yang mereka katakan, harus diterima tanpa ada ruang untuk diskusi. Kritik atau pertanyaan dari mahasiswa sering dianggap sebagai tindakan tidak sopan atau meremehkan. Padahal, mahasiswa juga manusia yang memiliki pikiran, perasaan, serta hak untuk mendapatkan penjelasan dan dipahami.
Dosen Tidak Punya Superpower
Kita perlu meluruskan satu hal: dosen memang memegang peran penting dalam pendidikan mahasiswa. Mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang lebih luas, itu tidak perlu diragukan. Namun, bukan berarti mereka tidak bisa salah. Dosen juga manusia yang bisa membuat kesalahan, tidak tahu segalanya, dan tentunya bisa merasa lelah dan emosional. Jadi, mengapa tidak ada hubungan saling pengertian antara dosen dan mahasiswa?
Masalah utamanya adalah, mahasiswa sering kali dianggap sebagai pihak yang harus selalu memahami. Kita harus memahami bahwa dosen sibuk dengan riset, kita harus menerima bahwa mereka tidak bisa membalas pesan dengan cepat, dan kita juga harus sabar jika revisi skripsi baru bisa diberikan minggu depan. Di sisi lain, dosen jarang berusaha memahami beban yang mahasiswa rasakan. Mereka tidak tahu (atau tidak peduli) bahwa mahasiswa juga tengah dikejar berbagai deadline tugas lain, skripsi, magang, bekerja part-time, hingga mengurus kehidupan pribadi. Yang terjadi, mahasiswa selalu dituntut untuk fleksibel dengan jadwal dosen, sementara dosen bebas mengatur waktunya sendiri.
Mahasiswa Juga Punya Batas
Sebagai mahasiswa, ada kalanya kita merasa tertekan oleh harapan untuk terus 'memahami', sementara kita tidak diberi ruang untuk dipahami. Kita disebut sebagai generasi muda yang diharapkan menjadi penerus bangsa, namun sistem yang ada justru membuat kita kelelahan. Terutama ketika berbicara soal skripsi. Prosesnya sering kali terasa seperti maraton tanpa garis akhir yang jelas. Dosen meminta revisi, kita revisi. Dosen mengatur jadwal bimbingan, kita menunggu. Kadang prosesnya terasa seperti tidak pernah ada ujungnya.
Yang paling mengecewakan adalah ketika kita sudah berusaha keras membuat janji bimbingan, tetapi dosen tidak hadir atau membatalkan secara sepihak. Lebih parahnya lagi, kita yang seakan disalahkan, "Mahasiswa harus bisa menyesuaikan. Dosen juga punya kesibukan." Seolah-olah, apa yang kita perjuangkan tidak dianggap penting di mata mereka.
Padahal, mahasiswa juga manusia yang memiliki batas kesabaran. Banyak dari kita yang harus berjuang membagi waktu antara kuliah, pekerjaan, dan kehidupan pribadi. Terkadang rasanya ingin berkata, "Kami juga punya hidup, bukan hanya skripsi." Namun, karena takut mendapatkan perlakuan yang lebih sulit atau lulus yang tertunda, akhirnya kita hanya bisa menahan perasaan dan melanjutkan tugas.
Harusnya Ada Saling Pengertian