Beberapa bulan terakhir ini, gemuruh pemberitaan begitu massifnya membanjiri mata dan telinga publik yang disuguhkan melalui media konvensional maupun di media sosial. Riuh rendah Isu yang menyita perhatian publik akhir-akhir ini tak lain adalah sosok Panji Gumilang dan Al Zaytunnya sehingga namanya saat ini begitu familier di telinga publik. Hal ikhwal yang menyeret Panji Gumilang masuk ke dalam perbincangan publik hingga akhirnya terseret masuk ke ranah hukum tidak ada lain adalah terkait adanya dugaan penistaan Agama yang di lakukan oleh Panji Gumilang lewat Fatwa MUI. Pada tulisan ini saya sengaja tidak ingin menyorot ke wilayah religiusitas dengan alasan atribusi kepakaran dan juga bukan berarti tulisan ini saya buat sebagai bentuk pembelaan terhadap sosok Panji Gumilang, biarkan proses Law enforcement berjalan sebagaimana mestinya sampai pada keluarnya putusan pengadilan yang mengikat. Memberi penilaian terhadap fenomena kontroversi panji gumilang yang sedang bergulir saat ini memang bukanlah perkara mudah, meskipun dari sebagian kalangan tokoh Agama Islam telah mengecam PG dan ajarannya yang di anggap melenceng dari Aqidah Islam dan mencapai kulminasinya melalui fatwa MUI sebagai lembaga yang di anggap legitimate untuk menentukan sesat atau tidaknya suatu Faham tertentu, meski demikian, tak sedikit dari kalangan lainnya juga turut hadir untuk membela Panji Gumilang dengan beragam perspektif, baik dari segi perspektif Agama itu sendiri, maupun perspektif lainnya. Terlepas dari itu, ada yang patut kita sayangkan dari proses hukum yang menimpa Panji Gumilang. Kasus Panji Gumilang ini tidak melulu harus di tilik lewat lensa religiusitas semata namun juga harus di lihat dari status kewarganegaraan PG yang memiliki hak-hak dasar yang di lindungi oleh Negara. Sayangnya, Negara dalam case ini terkesan berat sebelah dan kehilangan perannya sebagai medium terhadap rakyatnya. Kalau kita menelisik lebih jauh tarkait problem yang di hadapi Al zaytun dan PG ini, saya menganggap ada banyak hal yang saya nilai sebagai bentuk penelantaran dan pembiaran oleh Negara terhadap Panji Gumilang sebagai warga Negara. Mulai dari tidak adanya ekuilibrium pemberitaan media yang beredar di publik, sehingga narasi yang terbangun terkesan tunggal dan mirisnya nalar publik menerima narasi tunggal itu secara taken for granted, tanpa observasi yang mendalam terhadap informasi yang beredar, akibatnya, terjadi bias informasi dan berujung pada pendiskreditan terhadap sosok Panji Gumilang dan trial by the mass tak dapat di hindari, lahirlah kebisingan yang mengisi ruang publik terutama di sosial media, publik beramai-ramai memvonis dan men-sesatkan PG, seolah-olah PG sudah di putuskan bersalah oleh pengadilan. Yang kedua, menyoal sikap pemerintah melalui Menko Polhukam yang telah membekukan 145 rekening bank milik Ponpes Al Zaytun. pembekuan itu juga sudah dilaporkan kepada Bareskrim Polri (kompas.com). logika seperti apa yang menjadi dasar pemerintah untuk membredel apa yang menjadi hak pribadi warga negara seperti PG yang saat ini baru berstatus sebagai terduga melakukan tindak pidana penistaan Agama, sepertinya asas Presumption of innocence tak lagi menjadi sandaran hukum kita lagi. Dalam perspektif hak kewarganegaraan, terlepas benar atau tidaknya PG seharusnya Negara hadir untuk melindungi, termasuk membentengi PG dari opini-opini liar yang berimplikasi terhadap reputasi Panji Gumilang dan Ponpes Al Zaytun juga selayaknya tidak membredel apa yang menjadi hak pribadi warga negaranya. Namun Negara bukannya membentengi warganya dengan prinsip demokrasi justru yang terjadi adalah pembiaran yang berakibat termarjinalkannya sosok PG tanpa tameng hukum yang sepadan. Fenomena di atas, saya mau mengatakan, Negara telah membinatangkan Panji Gumilang kalau kita meminjam istilah salah seorang filsuf kontemporer Gergio Agambem yakni _Homo Sacer_ . Agambem menekankan kehidupan manusia dihadapan Negara dengan membagi dua dimensi kehidupan yakni kehidupan politik (Bios) dan kehidupan alamiah (Zoe).
Hidup manusia ini dinilai tak terlepas dari paradoks kekuasaan berdaulat yang bekerja melalui tatanan biopolitik. kekuasaan berdaulat ini terkadang menghasilkan figur politis (warga) hidup telanjang, inilah yang disebut Agamben sebagai homo sacer. Ia adalah figur yang dapat di cabut atau di tangguhkan status hukumnya (suspens of law). Dalam kondisi demikian, hak asasi warga negara dalam kehidupan alamiahnya tanpa perlindungan dan jika sudah terjadi demikian terhadap individu maupun kelompok, apa bedanya dengan binatang. Sekaitan dengan Panji Gumilang, semenjak dideklasrasikan sebagai aliran sesat dan menyesatkan oleh MUI, maka sejak itu hak dan posisi politis PG sebagai umat beragama sekaligus sebagai warga negara di Indonesia seperti telah "ditelanjangi". Negara (dalam hal ini, representasinya adalah MUI) menempatkan mereka menggantung di antara apa yang disebut Agamben sebagai kondisi Zoe dan Bios Politicos. Dengan kondisi seperti itu, Orang-orang dengan sesuka hatinya dapat melakukan judgement, persekusi, bahkan mengkafirkan secara leluasa. Sungguh di sayangkan jika Negara yang menganut sistem demokrasi dimana kita ketahui prinsip demokrasi yakni melindungi hak-hak warga Negara, adanya persamaan dimuka hukum, keadilan sosial justru menciptakan konfigurasi politik hukum yang paradoksal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H