Mengapa Kita Kecewa?
Aku pikir, setelah dikecewakan oleh sahabatku. Aku sudah belajar, cara mengurangi rasa kecewa, sekaligus menanggulanginya. Kenyataannya belum, aku kembali lagi dikecewakan. Aku mulai berusaha membedah, Mengapa aku bisa sekecewa itu?
Kecewa dan masalah, kurang lebih sama rumusnya. Sebuah ekspetasi yang dihancurkan oleh realita. Makanya aku mulai berhenti berekspetasi pada hal yang di luar kendaliku. Berekspetasi dengan orang lain, dan berekspetasi pada masa depan. dua-duanya sama-sama di luar kendali kita, tidak bisa diprediksi, apalagi diatur.
Ekspetasi terhadap orang lain
Seringkali kita meletakan kebahagiaannya pada orang lain. Kita berfantasi pada orang lain, sampai mengharapkan suatu hal yang sebenarnya belum tentu orang lain itu bisa lakukan. Lalu ketika realitanya berbeda, rasa kecewa itu mulai muncul dan menghancurkan kita sehancur hancurnya. Padahal realita itu hanyalah sifat asli mereka selama ini. Namun karena ekspetasi kita berlebihan, sifat asli itu seperti hal yang tabu bagi kita.
Dalam skala yang lebih luas. Kita sering kali berekspetasi pada orang lain, yang bahkan tidak kita kenal. Berharap ojek online datang tepat waktu, berharap tukang cukur paham keinginan kita, dan masih banyak lagi. Padahal sekali lagi, orang lain diluar kendali kita. Manusia itu dinamis, bisa berubah sewaktu-waktu. Dan adakalanya perubahan yang entah baik atau buruk itu, mengecewakan kita.
Ekspetasi terhadap masa depan
Manusia boleh merencanakan, tapi takdir yang menentukan. Barangkali kalimat itu cocok untuk orang yang sering berekspetasi pada masa depan. Merencanakan masa depan, membuat to do list, merancang wacana, bercita-cita, semua itu sah-sah saja. Tapi perlu diingat, kalau semua hal yang kita rencanakan tidak harus terjadi.
Dalam skala kecil, seringkali kita merencanakan liburan yang kedatangannya sudah kita tunggu tunggu. Namun tatkala sudah menginjak hari H, ada saja hal hal tak terduga. Tiba-tiba turun hujan, mobil mogok, tempat tujuan tutup. Semua hal itu di luar kendali kita, dan tidak bisa diprediksi.
Dalam skala yang lebih luas, berapa banyak orang yang bercita-cita begitu tinggi. Lalu dengan semua usaha yang dia lakukan, cita-citanya belum tercapai. Sehingga dia mewariskan cita-citanya pada anaknya dan merebut kebebasan anaknya. Syukur kalau anaknya bisa menggapai cita-cita itu. Bagaimana kalau cita-cita itu menjadi lingkaran setan hingga ke generasi berikutnya?
Bagaimana mengurangi rasa kecewa