Lihat ke Halaman Asli

Muhammad HafizFHS

Mahasiswa UDINUS

Kisah Perjuangan Bakmi Jowo Dhika: Merantaupun Kutempuh

Diperbarui: 16 Juli 2023   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar_Pribadi_1

Kota Semarang, Jawa Tengah adalah kota besar berbudaya. Kota yang ramai dan damai, dimana orang Jawa dan orang Tiong Hoa saling menyapa. Konon, dahulu masyarakat Tiong Hoa memulai perdaganganya di kota ini. Sehingga banyak keturunan dan peninggalan Tiong Hoa yang nampak di Kota Semarang. Banyak pula budaya yang terbaur, salah satunya budaya kuliner seperti hidangan mie, arak, lumpia, obat-obatan herbal, jamu, dan sebagainya. Pada tulisan ini, ada salah satu kuliner khas Semarang yang harus kalian coba ya, Sobat !

Kota Semarang sejak dulu memang indah. Di kota inilah aku hidup, bermain, bersekolah, hingga berkuliah di salah satu universitas swasta terbaik. Tiap sudut kota, telah kusinggahi. Hingga pada suatu sudut Kota di Jalan Agus Salim daerah Kota Lama tepatnya, pada tahun 2005 mulailah berjualan seorang perantau dari Kabupaten Sukoharjo, bernama Agus Susilo.

Gaambar_Pribadi_2

Pada tahun 2005, saat itu Agus Susilo adalah seorang pemuda yang telah memiliki keluarga. Besarnya tanggung jawab menjadi seorang nahkoda dalam bahtera kehidupan berumah tangga, menuntut Agus Susilo untuk bergerak dan berkarya demi keluarganya. Berbagai pekerjaan mulai dari yang sederhana, kasar, hingga berat telah ia lakoni di kampung halamannya Kabupaten Sukoharjo. Namun kendati membutuhkan penghasilan yang lebih mapan dan lebih mungkin 'dijagakke', Agus Susilo berpikir keras. 

Hingga pada akhirnya ia mendapat ide untuk merantau. Karena merasa lapangan pekerjaan dan tempat strategis untuk berjualan di kampungnya terasa sempit dan sangat terbatas. Dan ia pun mantap melangkahkan kakinya ke perantauan Kota Semarang.

Bermodal tekad dan semangat yang kuat, diiringi niat mulia untuk meninggikan harga diri dan mencukupi kebutuhan keluarganya, Agus pun berangkat. Ia memutuskan untuk berjualan keliling Bakmi Djowo dengan ciri khas Pedas di sana. Jalan Agus Salim Kota Lama, Semarang menjadi saksi bisu awal mula perjuangannya di perantauan. Setiap hari, langkah demi langkah ia tekuni. Dengan mendorong gerobak yang cukup berat, berisi tungku arang dari tanah liat, panci penuh air, persediaan arang, telur, wakul nasi 3-5 kilogram, mi jawa, bihun, bumbu-bumbu, ayam, dsb., ia berusaha menawarkan dagangannya di Jalan Agus Salim yang kala itu dipenuhi perkantoran dan pedagang pasar sekitar Kota Lama.

Pasar-pasar tersebut bernama Pasar Johar, Pasar Ampera, Pasar Purwogondo, Pasar Pandanaran, Pasar Waru Baru, Pasar Bugangan, dan Pasar Prembaen. Perjuangan seharian ia mulai dengan bangun di setiap pukul 1 dini hari, kemudian ia ke pasar untuk 'kulakan' pukul 3. Hebatnya Agus Susilo, pukul 5 ia sudah sampai di lapak usahanya lalu siap menerima pesanan sejak pukul 6 pagi. Setelah melalui hari yang panjang berkeliling ke sana dan kemari, Agus Susilo sampai di rumah pukul 4 sore.

Tak berhenti sampai di situ, ia hanya duduk sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya dengan menyiapkan 'persenjataan' untuk 'pertempuran' esok hari. Ia mempersiapkan sate ayam, usus, jeroan, bumbu-bumbu, menggoreng bawang merah, membuat cakwe, dll. Dan biasanya baru selesai persiapan itu pukul 9 malam. Barulah Agus Susilo sang pejuang dari Sukoharjo bisa beristirahat. Agus Susilo konsisten melakoni kelilingnya sejak tahun 2005. Hingga akhirnya pindah ke depan SD TK Kanisius pada tahun 2010.

Ketika itu ia menceritakan kisah perjuangan yang berat lagi. Dikarenakan Jalan Agus Salim pada tahun 2010 mengalami perbaikan besar-besaran. Pelebararan jalan membuat lapaknya tergusur. Besarnya jalan dan ramainya kendaraan, membuatnya merasa berbahaya apabila masih berkeliling di jalan itu. Begitupun pada pembelinya yang hendak makan di tempat, ia tidak ingin mencelakai mereka para pembeli setia. Ia pun terpaksa pindah

Setelah pindah, pada zaman itu belumlah ia menggunakan teknologi pesan digital seperti sekarang. Sehingga ia sangat kesulitan menjangkau/menyampaikan informasi kepindahannya kepada para pelanggan setia. Ia pun sempat bersedih karena harus mengulang masa 'babat alasnya' Kembali di tahun 2010. 

Usia Agus Susilo pun semakin tak muda lagi, membuatnya berat untuk memasarkan dagangannya dnegan berkeliling. Ia pun terpaksa berjualan 'menetap' di lapak sederhana barunya. Padahal dengan menetap di satu tempat, ia akan semakin sulit melakukan 'manuver' penjualan bakmi jowonya. Namun bagaimana lagi, ia pun memilih sabar dan tabah menjalani. Mengumpulkan Kembali pelanggan baru dan lama, satu per satu setiap harinya.

Berkat limpahan kemudahan dari Tuhan Yang Maha Esa dan kegigihannya berusaha mendapatkan penghasilan yang halal inilah, kini Bakmi Jowo Dhika milik Agus Susilo rata-rata menjual 13 kilogram mi jawa dan bihun, 8-9 kilogram nasi. Dalam sehari Bakmi Jowo Dhika dapat menjual habis sate dari olahan ayam hingga 5 ekor. Perhitungan porsinya adalah dengan menghitung jumlah telur. Sehari, rata-rata mereka menjual 9 kg telur yang perkilonya berisi sekitar 15 butir. Jadi sedikitnya mereka menjual 100-150 porsi dalam sehari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline