Lihat ke Halaman Asli

Menjemput Maut

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Aku masih terus menolaknya. Jarum jam baru menunjukkan pukul 21.00 WIB, masih ada kendaraan umum buat menuju ke tempat kost. Tapi Hendro, temanku itu maksa mau nganter. Karena sama-sama maksa, akhirnya aku menyuruh dia nunggu saja di perempatan. Kalau memang tidak ada kendaraan umum yang lewat, dia boleh nganter aku pulang. Dan ternyata M-37 masih lewat. Aku pun berdadah ria sama Hendro dan berterima kasih karena dia udah mau nungguin.

Tidak cuman itu Hendro menolongku. Setiap habis acara kepemudaan di Kelapa Gading Timur, dialah yang pertama-tama menawarkan aku untuk diantar pulang. Padahal kendaraan umun juga masih banyak yang lewat. Dengan motor Honda nya, dia rela memutar balik haluan hanya sekedar mengantar aku ke tempat kost. Dan aku bukanlah satu-satunya makluk yang sering ditolong Hendro. Teman-teman lain pun tak luput dari bala bantuannya.

Hendro Setiawan, sesuai namanya emang selalu setia kawan. Hobinya menolong orang. Bahkan dia termasuk salah satu dari ‘alumni Aceh’, yaitu orang-orang dari kader sebuah ormas yang dikirim ke Aceh buat bantu-bantuin mengangkat jenazah korban tsunami tahun 2004 lalu. Jiwa penolongnya sudah mengalir ke pembuluh darahnya. Orang tuanya yang pedagang bakso di pasar Inpres Kelapa Gading barangkali telah berhasil menanamkan mental itu ke dalam pola pikirnya. Tidak heran, meski pendiam, Hendro banyak temannya.

Sampai pada suatu hari Sabtu yang hujan lebat, Hendro yang saat itu sedang menuju ke Bekasi melihat pemandangan miris. Seorang balita menangis di tengah kubangan air. Di dekat balita itu ada pria dan wanita dewasa yang sedang pingsan. Mungkin itu orang tuanya. Si balita terjebak di tengah air kubangan. Seperti biasa, jiwa penolongnya tergerak. Hendro memarkirkan motornya begitu saja dan segera menuju ke arah kubangan air tersebut. Hanya saja Hendro tidak tahu, air kubangan itu teraliri tegangan listrik 20 KV akibat putusnya kabel PLN.

Aku terbangun ketika ada SMS masuk pukul 3 pagi. Bunyinya cukup membuat kaget: Innalillahi wa inna’ilaihi rojiuun...Telah meninggal dunia saudara kita Hendro Setiawan. Mohon hadir untuk takziyah di rumahnya.

Tidak ada tangis yang mengharu biru mengiringi jenazah Hendro ke pemakaman. Sebenarnya kami ’iri’ dengannya. Iri karena ia telah menutup hidupnya dengan husnul khotimah, alias meninggal pada saat berbuat kebaikan. Hendro tewas di usianya yang relatif masih muda, hanya berselang satu minggu sebelum ia diwisuda.Hampir semua media cetak nasional dan lokal memberitakan peristiwa itu: Empat orang tewas tersengat aliran kabel putus PLN. Perwakilan PLN sempat juga datang ke orang tua Hendro dan menyerahkan duit santunan. Tapi Bapaknya Hendro tampak tegar dan tidak menyalahkan PLN. Ini sudah takdir, katanya.

Peristiwa 10 Februari 2008 ini kembali terbayang di ingatan saya, di saat bom-bom para 'jihadis' masih saja menereror Indonesia. Entah apa yang dipikirkan para pengebom atau orang2 yang ada dibelakangnya. Pertanyaan kecil saya, mengapa ada orang yang rela mati untuk membunuh orang lain? Mengapa tidak seperti Hendro, yang mati justru untuk menyelamatkan orang lain?

Hendro Setiawan menjemput maut dengan cara yang sangat elegan. Bagaimana dengan kita?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline