Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Yus Yunus

Sastrawan, dan Teaterawan

Misi Pembangunan dan Patung Seni di Jalan Raya

Diperbarui: 5 September 2024   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

adakreatif.id

Mungkin dahulu suwaktu masih kecil tatkala hendak pergi ke luar kota untuk menemui nenek di kampung halaman. Kendaraan yang kita naiki awalnya melaju dengan cukup cepat, namun kemudian melambat sesaat setelah sesuatu yang besar di jalan raya mulai terlihat. Sesuatu yang besar itu menarik perhatian sopir, dan para penumpang, namun tidak sampai membuat sopir lalai karena terlalu kidmat memandanginya. 

Dengan wajah lugu kala itu, kita meminta ayah kita untuk menggeser kaca. Seketika kepala kita keluar menatap penampakan yang megah nan indah itu. Mungkin seperti itulah kejadian di mana kita pertama kali melihat patung seni berukuran raksasa. Patung seni yang menjadi kebangga setiap warganya.

Kita kerap mengenal sebuah wilayah, daerah, atau kota melalui patung seni yang ikonik. Patung-patung ikonik ini biasanya berada di sebuah jalan raya. Ia biasanya dibuat di bunderan jalan, perempatan, atau simpang jalan. Sehingga mudah dilihat oleh siapa saja, dan memberikan kesan takjub bagi yang melihatnya. 

Patung-patung ikonik ini memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawaan. Biasanya mereka sengaja mengambil foto di dekat patung-patung ini, tujuannya untuk menunjukan bahwa Ia pernah singgah atau pernah mengunjungi tempat ini.

Selain memberikan warna tersendiri bagi suatu daerah, bangunan artistik semacam "Sura dan Baya" di Surabaya, Patung "Selamat Datang" di Bunderan HI Jakarta, atau "Tugu Poci" di Slawi Tegal menjadi landmark untuk kota tersebut. Masing-masing dari landmark ini memiliki kisah tersendiri di baliknya, namun ada juga yang hanya sebatas menggambarkan seperti apa penduduk di wilayah tersebut.

Jika kita membahas soal landmark atau bangunan petunjuk wilayah, sebenarnya tidak hanya soal patung seni yang ikonik. Ada pula bangunan lain selain itu, namun dalam tulisan ini tidak membahas selain patung. Karena karya seni tiga dimensi ini tentunya memiliki hal yang berbeda dengan bangunan seperti Jam Gadang di Bukit Tinggi, atau Gedung Sate di Bandung. Patung dan jalan raya, adalah kombinasi yang pas untuk mencairkan suasana panas, macet, sumpek, ruwet, dan segala masalah di jalan raya yang tidak dapat di atasi oleh pemimpinnya.

Landmark dengan bentuk patung dapat memberikan keuntungan bagi wilayah itu sendiri. Namun untuk membuatnya diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sementara biaya-biaya itu diambil dari pajak, dan mungkin pula dari anggaran yang seharusnya diterima oleh rakyat kecil. 

Namun jika yang ditawarkan adalah sebuah peningkatan mutu, dan demi menciptakan daya tarik wisatawan untuk meningkatkan perekonomian kota, maka sudah barang tentu anggaran sebesar apapun diloloskan saja. Yang padahal kita mengenal Surabaya bukan dari patung "Sura dan Baya", kita mengenal Jakarta bukan dari "Tugu Pancoran", atau kita mengenal Lampung bukan dari "Tugu Adhipura", karena barang kali kita mengenal semua kota-kota itu dari narasi dan cerita.

Berbeda dengan kota-kota besar lainnya, Tugu Blimbing di Depok mungkin menjadi salah satu landmark yang tidak terlalu mendapatkan perhatian. Tidak hanya kurang mendapatkan perhatian, secara konsep yang diusung pun sangat jauh dengan realitasnya. Belimbing merupakan salah satu buah yang tumbuh subur di kota Depok. 

Dahlih ingin membuat wilayah Pasir Putih sebagai tempat konservasi sekaligus destinasi edukasi wisata, tempat ini malah terlihat sepi dan tampak biasa-biasa saja. Seperti daerah lain di Depok yang kebun dan ladangnya mulai dibangun kontrakan atau kos-kosan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline