2. Di Tanah yang Subur
Hidup di desa bagi sebagian orang merupakan hal yang tidak istimewa. Apalah yang dikerjakan pemuda desa, paling-paling hanya menggembala kambing, mencari rumput dan pergi ke tegalan untuk mencari batang kayu kering. Mencari pekerjaan di ibu kota menurut sebagian orang desa adalah sebuah kelebihan. Entah mengapa pemikiran ini terjadi bertahun-tahun. Siapa sangka orang-orang tua kerap mengusir anak-anaknya untuk segera mandiri, mencari kehidupan dengan tangan sendiri, merantau sejauh-jauhnya. Mengharapkan segala sesuatu yang ditawarkan ibu kota.
Bagi Krismon sendiri hidup di kota tidak lagi menjadi tujuannya. Pikirannya terpusat pada kedua anak-anak yang belum khatam mengelap ingus. Setiap hari pemuda berusia dua puluh tujuh tahun ini harus membagikan waktunya dengan kedua keponakannya. Menjadi seorang ayah sebelum menikah adalah malapetaka bagi dirinya sendiri. Namun semua keputusan itu telah ditetapkan sebagai bagian dari tanggung jawabnya.
Di rumah kayu beralaskan tanah itu Krismon harus mengurus tiga orang sekaligus. Seseorang pria tua dan kedua bocah berusia enam tahun. Tidak ada kata mengeluh dari bibirnya sedikit pun. Juga tak ada tanda-tanda penyesalan. Wajah pria berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat bersahabat dengan siapa saja. Tidak terutama kepada bapaknya sendiri. Dukri sudah tidak berdaya menarik lutut-lututnya untuk beranjak. Paling-paling ia hanya mampu berjalan sebentar saja dan hanya beberapa meter saja. Semua waktunya telah habis begitu saja, hanya menyisakan garis keriput pada wajah malang itu. Tentu saja bagi Krismon waktu terbaik bagi dirinya saat ini adalah bersama keluarga. Membesarkan kedua ponakan yang entah bagaimana kabar bapak-ibunya. Sekaligus menemani sisa-sisa umur Dukri di kursi hukumannya itu.
Hampir tak kenal Lelah, seorang Krismon mencari penghidupan siang dan malam. Ketika suara subuh telah usai menggema dalam langit yang masih gelap, pria itu sudah mulai sibuk di dapur seperti layaknya wanita. Membangunkan seisi keluarga untuk segera sembahyang lalu beradu lapar di meja makan. Tidak nampak rasa kesal sama sekali pada dirinya, meskipun membangunkan kedua anak-anak ingusan bukanlah hal yang mudah. Apa lagi menyuruhnya pergi ke musala. Juga kepada tubuh kakek tua itu, dengan sepenuh hati Krismon membantunya berdiri dari ranjang dan memapahnya sampai ke musala lalu mendudukan tubuh itu di kursinya. Tidak ada kalimat mengeluh, meskipun diri telah begitu direpotkan oleh manusia-manusia lemah.
Sehabis menyantap menu sarapan yang hanya gorengan tempe dan nasi putih hangat biasanya Krismon bergegas menuju sawah. Tidak banyak yang dapat ia kerjakan dengan pena, meskipun pria itu pandai menulis. Tidak banyak yang dapat dikerjakannya dengan buku, meskipun ia pandai membaca. Bagi krismon sendiri hidup sebagai anak muda yang aktif di lingkungan dengan rajin membuat banyak kegiatan adalah masa lalu. Keadaan telah berubah seiring berjalannya waktu. Sampai suatu ketika datanglah hari yang penuh lelah. Bahkan Krismon sendiri tidak pernah memikirkan bagaimana cara untuk menutup masa-masa membujangnya. Ia sendiri lupa bagaimana cara menyukai seorang gadis yang elok dengan lekukan tubuh yang indah. Pria malang itu hamper-hampir tidak pernah melirik satu gadis pun untuk ia culik. Tubuhnya yang telah berubah membuat dirinya tak lagi bernafsu mencari kesenangan dengan perempuan. Kulitnya sudah mulai menghitam akibat terlalu sering terkena matahari. Belum lagi ia juga tak punya pakaian bagus yang cukup untuk menarik hati siapa saja termasuk perempuan. Kebanyakan baju-bajunya di lemari hanya berisi pakaian dinasnya menguli. Ada beberapa potong kaos dan beberapa potong celana pendek. Pakaian terbaiknya hanyalah sarung dan baju koko saja. Itu pun ia kenakan hanya saat hari jumat tiba.
Ketika waktu siang sebelum adzan dzuhur tiba biasanya Krismon mempercepat pekerjaannya dan bergegas menuju ke rumah. Tentu saja yang di pikirannya tidak lain tidak bukan adalah perut lapar dari kedua ponakannya dan Dukri, pria tua itu. Meskipun hanya menggarap sawah Krismon tidak pulang dengan tangan kosong. Biasanya ia membawa lauk pauk yang dibungkus dengan daun jati muda. Pemilik sawah yang akrab dipanggil Darno Blenduk selalu memberikan jatah makanan bagi para pekerjanya. Si pemilih sawah selalu memberikan Krismon jatah makan siang yang spesial. Sebenarnya Darno Blenduk tidak benar-benar menjadikan pria malang itu spesial. Tapi Krismon sendiri yang meminta agar jatah makan siangnya cukup lauk saja tidak perlu nasi. Karena permintaan yang demikian itu Darno Blenduk melebihkan jumlah lauk untuk mengganti jatah nasinya.
Darno Blenduk sebenarnya bukanlah seseorang yang meletakan perhatian kepada keluarga Dukri. Ia menganggap semua kulinya sama saja. Tidak ada yang dispesialkan. Namun beberapa kali Krismon selalu datang kepadanya untuk meminta kasbon dan memohon agar Darno Blenduk segera memanggil dirinya jika tenaga pria bertubuh besar dan berkulit gelap itu dibutuhkan. Tentunya maksud Krismon supaya ia tidak kesusahan lagi mengembalikan hutang-hutangnya dengan mencari hutang baru. Tapi ternyata secara tidak langsung Darno Blenduk memberi perhatian melalui analisa-analisa dipikirannya yang ia tangkap dari kedua matanya untuk menghabiskan waktu mengawasi gerak-gerik pria malang itu.
Pada suatu hari di pagi yang berselimut mendung ketika sawah-sawah terus diguyur hujan dan padi-padi tumbang oleh hama, Darno Blenduk berencana menyuruh Krismon untuk menjaga kondisi sawah dengan mendirikan beberapa panggok. Tentunya panggok-panggok itu akan digunakan untuk berteduh jika para kuli di sawah terkena hujan. Sekaligus untuk dijadikan pos penjagaan saat malam. Maklum saja dalam kondisi serba terpepet banyak kawanan maling yang merusak bibit padinya. Bahkan bibit-bibit padi itu pernah suatu hari dicuri lalu para pencuri juga menggondol habis jagung-jagungnya yang masih muda. Mungkin para pencuri menganggap kehilangan dua tiga buah jagung bagi seorang Darno tidaklah berarti apa-apa. Ia punya tanah yang melimpah dan subur. Tentunya ia masih cukup kaya. Tapi bagi Darno Blenduk sendiri itu sama artinya dengan sebuah kepercayaan dan tanggung jawab. Jika ada beberapa tanaman yang dicuri dari tanahnya, itu sama artinya dengan merusak kebahagiaan kaum tani, terutama sekali kebahagiaan para kulinya. Namun sayangnya ketika ia baru sampai di rumah Dukri untuk melanjutkan keniatannya itu, dengan suasana hening dan haru terbengong-bengonglah ia melihat seorang pria tua memejamkan mata di atas kursi.
Kabar tentang meninggalnya Dukri kakek berusia tujuh puluh tahun lebih itu menggaung ke seluruh desa. Ia telah meninggalkan anaknya yang masih hidup membujang dan kedua cucunya yang belum khatam ingusan. Selalu saja ada perasaan sedih di setiap kepergian. Padahal belum tentu yang pergi akan merasakan penderitaan. Tidak selamanya yang pergi membawa rindu. Dan tidak selamanya pula yang ditinggalkan akan tetap ada sampai dunia kiamat. Sejatinya manusia hanyalah makhluk yang memberikan luka kepada orang terkasih. Memberikan banyak kenangan semasa hidup dalam kepala orang-orang terkasih. Lalu orang-orang terkasih akan menelan baik-baik rindu itu sampai gilirannya tiba.