Banyak jargon muncul di media tentang kelangkaan minyak goreng di negeri penghasil minyak goreng ini. Ada yang menghubungkan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri dengan perang yang sedang meletus di Eropa. Yang jelas-jelas tidak memiliki keterkaitan apapun, tapi inilah negeri kita yang lucu dengan segala paradoksnya.
Soal kelangkaan sumber daya pangan sebenarnya tidak hanya terjadi saat ini, sebelum-sebelumnya negeri kita mengalami khasus yang sama. Seperti kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi pada tahun 1998, akibat krisis ekonomi dan gejolak politik pada masa itu. Hingga pada saat ini kita telah berkali-kali mengalami kelangkaan sumber daya pangan, tidak hanya minyak goreng, bahkan beras pada tahun 2018 lalu di Sukabumi, dan garam juga pernah langka pada tahun anatara 2010 sampai 2016, yang padahal laut kita masih cukup luas untuk memproduksinya.
Seacara ilmu ekonimi, sebuah produk bisa langka di pasaran disebabkan karena tingkat produktifitasnya yang menurun. Mungkin saudara pembaca bertanya-tanya, kenapa produktifitas barang kita menurun sementara lahan untuk membuat bahan produk begitu melimpah. Kekayaan alam kita memang terbatas, namun beberapa khasus yang dianggap langka adalah justru bersal dari bahan yang tidak terbatas.
Kelapa sawit di Kalimatan bukanlah sebuah pohon peneduh pada sebuah taman perkotaan bukan, dia juga bukan sebuah pohon bonsai yang tidak berbuah, atau sengaja tidak dibuahkan. Melainkan sebuah pohon yang berfotosintesis menghasilkan kelapa, oksigen, dan cuan. Minyak goreng yang ngambek di pasar ini mudah-mudahan bukan karena tanah Kalimantan akan dijadikan Ibu Kota.
Semua masyarakat tidak lagi bisa disebut bodoh, namun pengakuan diri yang tidak mau disebut bodoh sangat tipis artinya dengan kata "saya sangat bodoh." Bagai mana tidak, kita tidak mau disebut bodoh, tapi kelangkaan minyak saat ini telah membodohi hidup kita. Lihatlah yang terjadi akibat minyak goreng langka di pasaran, tukang nasi goreng tikungan mungkin akan libur beberapa hari, atau tukang kwetiau itu harus mengganti minyak goreng dengan mentega yang jelas-jelas akan menurunkan kualitas rasa. Belum lagi jumlah antrian pasukan ibu-ibu rumah tangga yang terpaksa meninggal anak-anak mereka di rumahnya hanya untuk mendapatkan barang satu dua liter air berwarna kuning bening itu.
Ditambah penyakit masyarakat kita turut kambuh di balik bayang-bayang fatamorgana minyak goreng ini. Minimarket telah disuruh dan diperintahkan untuk tidak menjual minyak goreng ke pelanggan yang sama dalam satu waktu. Atau jika diputar kalimatnya, konsumen minyak goreng hanya dibolehkan membeli satu produk minyak goreng. Apa arti dari kalimat-kalimat perintah berisi rasa kebersamaan itu. Ini malahan dipermainkan oleh si konsumen yang sengaja menyuruh kerabatnya atau bagian dari keluarganya untuk membeli minyak goreng dengan struk yang berbeda.
Sama sekali penyakit ini tidak mengenal toleransi anatar sesama korban kelangkaan minyak goreng di pasaran. Belum lagi masyarakat kelas bawah yang syok dengan kenaikan harga minyak goreng yang langka itu, terpaksa menggunakan minyak goreng yang sama di lain waktu. Yang jelasnya akan menurunkan kualitas serta rasa makanan, hingga berujung pada pelanggan yang kemungkinan besar akan mengeluh atau mendapatkan efek buruknya.
Siapapun orang atau kelompok yang menjadi dalang di balik kelangkaan sumber daya pangan ini adalah penajahat. Mereka tahu hukum produksi, jika jumlah barang yang berhaga semakin langka maka akan semakin mahal harganya. Lagi-lagi siapa yang tidak tahu soal praktik semacam ini, timbun-menimbun sudah diketahui oleh seluruh mayarakat kita bahwa kegiatan semacam itu adalah yang paling buruk tabiatnya di anatar para pedagang. Praktik pragmatis semacam ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang kapitalis, tetapi juga mereka yang terpaksa melakukan atas alasan kebutuhan dan faktor ekonomi.
Yang terjadi pada negeri kita tentang kelangkaan minyak goreng, sedikit demi sedikit membuat harga minyak goreng memiliki nominal yang terus naik. Anda pasti tahu berapa perbedaan harga minyak goreng dahulu dengan sekrang. Berbedaanya tidak satu atau dua digit, tapi sudah ribuan. Menunjukkan betapa sebuah masa yang besar ini dapat dikendalikan dengan praktek timbun menimbun.
Sebenarnya kita bisa berhenti atau setidaknya beralih, demi mengurangi sifat konsumtif kita terhadap minyak goreng. Namun sayangnya kelangkaan minyak goreng saat ini, tidak disadari dengan pola hidup sehat warisan nenek moyang kita yang belakangan hilang. Seperti keberadaan makanan tradisional, kueh-kueh atau olahan yang dikukus tidak lagi menjadi suguhan wajib di meja makan kita saat jam sarapan tiba. Atau kita juga sudah tidak lagi menemukan singkong rebus sebagai makanan pokok untuk mengisi meja makan saat malam.