Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Yus Yunus

Sastrawan, dan Teaterawan

Keramah-tamahan Itu seperti Bungkusan Indomie: Telurnya Cuma di Gambar Aja

Diperbarui: 5 Januari 2022   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pribadi

Konon negeri kita dijuluki sebagai negeri yang sopan, ramah-tamah dan elok, tapi siapa yang menduga kalau itu semuanya hanyalah doktrin yang dibuat untuk membuat bangsa ini selalu menerima dan terbuka dengan sesuatu yang berbau asing dan berbeda. Tidak hanya barang dan jasa saja yang bisa dijual, kaum pemodal dan kapitalis juga bisa menjual keramah-tamahan.

Oleh negara lain bangsa kita disukai karena keramah-tamahannya, tidak tahu kenapa ucapan itu seolah-olah menjadi kebanggan tersendiri di tengah peningkatan kasus kriminalitas yang terus melejit. 

Pencopetan di pasar, tukang palak di setiap gang kampung, penguasa parkiran dengan baju warna jingganya, pinjaman online yang kurang kerjaan, juga termasuk kelakukan pejabat yang suka emosian dengan tingkah para komedian. Salah ngomong sedikit dapat somasi, tidak ada keramah-tamahan untuk demokrasi. Dan bagaimana jika ternyata keramah-tamahan yang selama ini kita anut adalah sebuah upaya atau doktrin dari pihak lain untuk menjadikan kita sebagai sigmentasi pasar mereka?

Saat ini banyak sekali keramah-tamahan yang dijual di berbagai tempat. Entah bagaimana keramah-tamahan diajarkan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, oleh seorang guru di sekolah kejuruan dengan segala ujian praktik, atau seorang trainer pada sebuah perusahan yang memberikan pelatihan kepada tenaga kerja baru. 

Yang semuanya itu dilakukan untuk satu tujuan, yaitu uang dan keuntungan bukan untuk menjadi seseorang dengan pribadi ketimuran. 

Kita bisa menjumpainya pada Sekolah Menengah Kejuruan tataboga, perhotelan, penjualan, atau pada perusahaan-perusahaan mini market, di kantor-kantor bank, di meja-meja kasir, dan lain sebagainya.

Keramah-tamahan itu dapat kita jumpai seperti di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, di mana kita selalu mendengar kata "dimulai dari nol ya Pak."

Seorang pengendara sepeda motor yang mengantre untuk mendapatkan giliran ia harus menunggu beberapa saat setelah pengemudi lain selesai melakukan transaksi. Hingga tiba pada gilirannya untuk mendapatkan pelayanan yang ditandai dengan kalimat pertama "Pertalite atau Pertamax Pak?" 

Setelah Pelanggan menjawab si petugas kembali membalas "dimulai dari nol ya Pak." Kemudian secara cepat baik pelayan SPBU maupun pelanggan, keduanya secara kompak melihat angka digital yang berubah cepat pada mesin. Hampir tidak terlihat senyum, bahkan mungkin tidak sempat berpapasan wajah.

Keramah-tamahan yang dijual oleh petugas SPBU sebenarnya tidak memperlihatkan nilai keramah-tamahan itu sendiri. Malahan lebih mirip sebagai tindakan yang penuh dengan kebasa-basian. Selain para pengguna toilet umum, memangnya siapa yang ingin berlama-lama di area SPBU?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline