"Mamah, tadi aku dituduh nyolong bolpen, padahal itu bolpen aku, temen-temen sekelas pada mengolok-olok aku."
Seorang Anak tadi sore mengadu pada Ibunya di teras pelataran rumahnya, tepat di pinggir jalan raya terlihat dengan sangat jelas, ketika seisi sekolah berhamburan keluar 30 menit yang lalu lantaran jam sekolah sudah selesai.
Kalau saja terlalu kepo dan ingin mengetahui kelanjutan reaksi Ibunya setelah melempar senyum ketika si anak selesai mengadu, mungkin ada tindakan atau hal lain yang akan dilakukan, namun sayangnya kepo itu sekedar lewat dan berlalu.
Anak itu kira-kira berusia 11 tahun, tapi bukan usia dan keseluruhan tulisan ini tentang dia, ada hal yang sepertinya harus tertulis di sini. Sebelum terlalu dalam membaca keseluruhan tulisan, saya ajak pembaca melirik sosok Albert Einstein.
Siapa yang tak kenal Bapak yang satu ini? Dia adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistika, dan kosmologi.
Einstein dianugerahi penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotolistrik dan "pengabdiannya bagi Fisika Teoretis".
Sayangnya, tak semua orang mengetahui akan kekurangan yang dimiliki oleh Bapak ini, padahal masa kanak-kanannya tidaklah baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Pak Einstein kecil didiagnosa memiliki kelainan yakni sebagai pelajar yang lambat, kemungkinan disebabkan oleh dyslexia, sifat pemalu, atau karena struktur yang jarang dan tidak biasa pada otaknya (wikipedia).
Banyak sejarawan yang mengatakan jika Einstein kecil autis. Lalu bagaimana bisa seorang dengan kekurangan tersebut malah bisa lebih produktif dibanding yang lebih baik nasibnya?
Kadang manusia lebih memilih utuk mengenal segala sesuatu yang buruk tentang manusia, kadang pula manusia lebih mudah menilai kualitas seseorang dari pendidikan dan gelar, padahal Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki ribuan lebih sarjana muda. Tapi adakah perubahan yang signifikan dari sebelum negeri ini merdeka?
Tidak mau terlalu jauh tentang negeri ini, kita berlanjut tentang Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama (JO), bersama J. Adisubrata dan Irawati SH. Dari mereka kita mengenal Kompas Gramedia, atau yang sering kita baca Koran Kompas. Jika melirik jalannya, tidak melulu usaha dan jerih payah mereka berjalan mulus, parahnya mereka bersaing dengan komunis yang tentu kita paham bagaimana komunis itu.
Semua butuh proses, semua juga butuh kerja keras dan keyakinan karena tentunya segala kebaikan pasti ada Tuhan yang selalu dan selalu melirik dengan cintanya. Kalau saja tokoh yang di atas lemah, mudah menyerah atau mungkin pendendam serta tidak sabar, tentu nama mereka hanyalah sebagian besar nama-nama di kartu tanda pengenal.