Dalam menyikapi Pemilu presiden dan wakil presiden Indonesia 2024 yang lalu, perdebatan antara pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka menjadi semakin menarik untuk dikupas kembali. Sistem proporsional tertutup, serupa dengan memesan paket menu di restoran, menekankan pada kedekatan pemilih dengan partai politik. Pemilih memilih partai, dan distribusi kursi di parlemen mencerminkan perolehan suara partai tersebut. Kelebihannya terletak pada kesederhanaan dan kepastian, sebagaimana dijelaskan oleh Jason Brennan, seorang ahli ilmu politik, dalam bukunya "Against Democracy". Namun, tantangannya muncul dari potensi ketidakseimbangan representasi individual dalam partai, yang dapat merugikan keberagaman pandangan di dalam partai.
Di sisi lain, sistem proporsional terbuka, analoginya dengan memilih lagu favorit di playlist, memberikan kebebasan bagi pemilih untuk langsung memilih kandidat. Hal ini menciptakan panggung politik yang lebih dinamis, memungkinkan munculnya pemimpin yang kuat dan karismatik. Sebagaimana dikemukakan oleh Arend Lijphart dalam "Patterns of Democracy", kelebihannya adalah meningkatkan keterlibatan pemilih dengan memberikan mereka peran lebih langsung dalam menentukan representasi nya.
Namun, seperti memilih lagu di antara playlist yang beragam, proporsional terbuka juga membawa risiko fragmentasi suara. Ini bisa menghasilkan parlemen yang dipenuhi dengan partai kecil, sulit membentuk pemerintahan yang stabil dan efisien. Pandangan ini didukung oleh analisis dari Michael Gallagher dalam "Comparing Electoral Systems".
Mendiskusikan integritas Pemilu, sebagaimana disoroti dalam buku "Democracy and Elections" karya Hans Peter Widmer, penting untuk memastikan bahwa prosesnya tidak dicemari oleh praktik-praktik curang dan penipuan. Ini memerlukan peningkatan pengawasan, transparansi, dan penegakan hukum untuk menjaga kejujuran Pemilu.
Sebagai rekomendasi untuk Pemilu kedepannya, mungkin perlu melibatkan partisipasi mpeasyarakat secara lebih aktif dan meningkatkan pendidikan pemilih. Hal ini sejalan dengan gagasan dari Jessica Levinson, seorang profesor hukum dan ilmu politik, seperti yang dibahas dalam Public Campaign Financing.
Maka dari itu, dalam menyajikan hidangan politik yang menggugah selera, kita perlu mempertimbangkan pandangan ahli politik dan ilmuwan sosial yang dapat memberikan wawasan mendalam mengenai implikasi praktis dari kedua sistem tersebut. Dengan memahami contoh sistem pemilu di negara-negara lain, seperti yang dijelaskan dalam buku "Electoral Systems and Democracy" karya Matthew S. Shugart, kita dapat memperkaya pengalaman politik kita sendiri. Akhirnya, untuk mencapai Pemilu yang adil, transparan, dan representatif, kita bersama sama perlu memastikan keamanan Pemilu. Menyiasati resep politik dengan melibatkan sumber-sumber referensi seperti literatur akademis, buku tentang sistem pemilu, dan analisis dari pakar politik terkemuka, kita dapat menciptakan menu politik yang memuaskan selera semua pemilih.
Sumber:
- Brennan, Jason. Against Democracy. Princeton University Press, 2016.
- Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. Yale University Press, 2012.
- Gallagher, Michael. Comparing Electoral Systems. Prentice Hall, 1991.
- Widmer, Hans Peter. Democracy and Elections: Theoretical and Empirical Perspectives. Routledge, 2019.
- Levinson, J. A. Public Campaign Financing.
- Shugart, Matthew S. Electoral Systems and Democracy. Oxford University Press, 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H