Lihat ke Halaman Asli

Admin

Read To Write

Kritik Praktik Jurnalisme Gincu: Wajah Media di Bawah Ketiak Kekuasaan

Diperbarui: 4 November 2024   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhamad Tonis Dzikrullah

Jurnalisme di Indonesia mengalami pergeseran yang memprihatinkan, alih-alih menjadi kekuatan independen yang menyuarakan kebenaran dan akomodatif terhadap kepentingan publik, sebagian media justru terjebak dalam praktik "jurnalisme gincu" -- di mana mereka hanya menjadi perpanjangan suara para pejabat atau elite politik. Fenomena ini meresahkan karena mengaburkan batas antara jurnalisme dan kehumasan yang berpotensi menciptakan disinformasi dan melumpuhkan daya kritis masyarakat.


Jurnalisme Gincu: Ketika Media Kehilangan Fungsi Pengawasan
Dalam konteks "jurnalisme gincu," media tampak lebih sibuk mengamplifikasi pernyataan pejabat tanpa menyaring atau mengujinya. Pejabat negara atau elite politik dapat dengan mudah membentuk narasi positif untuk mempertahankan citra, sementara media massa yang seharusnya berperan kritis justru sekadar menjadi "tadah ludah" para narasumber. Akibatnya, berita yang disampaikan menjadi bias, mengaburkan kenyataan, dan menghilangkan perspektif kritis yang sangat dibutuhkan dalam sebuah ruang demokrasi.

Fenomena ini bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan wawasan jurnalis, tetapi juga sering kali karena media memang memiliki paradigma yang mengutamakan kepentingan pemodal dan pejabat daripada kepentingan publik. Hal ini menciptakan ketergantungan pada sumber daya dari lembaga yang mereka laporkan, menjadikan media cenderung kompromi dan kehilangan integritasnya sebagai pengawas.

Jurnalisme dan Kehumasan: Dua Hal Berbeda

Salah satu hal mendasar yang kerap terlupakan adalah perbedaan prinsip antara jurnalisme dan kehumasan. Jurnalisme sejatinya bertujuan untuk menyibak kabut yang menyelimuti suatu persoalan, memberikan masyarakat informasi yang akurat dan berimbang agar dapat menilai suatu isu dengan jernih. Sedangkan kehumasan berorientasi pada pembentukan citra positif dan melayani suatu kepentingan tertentu.

Ketika media hanya menyampaikan klaim sepihak atau memoles pernyataan pejabat tanpa konfirmasi, mereka secara efektif mengubah fungsi jurnalistik menjadi pekerjaan humas. Akibatnya, media tidak lagi menjadi alat kepentingan publik, tetapi berubah menjadi medium untuk memoles citra pejabat atau lembaga. Ini sangat berbahaya, karena publik hanya menerima informasi yang terdistorsi, kehilangan kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih luas dan akurat.

Menggadaikan Integritas dan Prinsip Jurnalisme Demi Keuntungan

Dalam praktik ini, media cenderung bekerjasama dengan lembaga pemerintah atau korporasi besar untuk mem-branding citra mereka. Keterlibatan media dalam kemitraan semacam ini sering kali berujung pada pemberitaan yang berpihak dan tidak kritis, karena media mendapatkan kompensasi berupa pendanaan, iklan, atau dukungan lain yang menguntungkan.

Ketika independensi media tergerus demi keuntungan finansial, publik tidak bisa lagi berharap pada keberpihakan media terhadap kepentingan mereka. Berita menjadi satu arah, penuh dengan narasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan publik disuguhkan gambaran realitas palsu yang telah dipoles sesuai keinginan pemodal.

Lebih jauh lagi, kondisi ini membuka jalan bagi oligarki untuk menguasai standar jurnalisme. Mereka berhasil menciptakan standar pemberitaan yang menguntungkan kepentingan mereka, mengaburkan fakta dan membuat jurnalisme menjadi alat kekuasaan. Praktik lacur dan bias ini berbahaya, karena merusak prinsip dasar jurnalisme sebagai pilar penjaga demokrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline