Lihat ke Halaman Asli

Admin

Read To Write

Reinterpretasi Eksistensi Gerakan Melalui Fenomenologi

Diperbarui: 27 Oktober 2024   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Ketika berbicara tentang gerakan sosial, filosofis, atau bahkan spiritual, ada satu hal yang sering terabaikan: keberlangsungan hidup sebagai proses yang dinamis. Gerakan yang bertujuan mengubah realitas, pada dasarnya harus selalu bergerak, menyesuaikan diri, dan berkembang. Gerakan yang hidup adalah yang tidak pernah merasa "selesai" dengan dirinya sendiri. Begitu ia merasa cukup atau puas, ia berhenti berkembang dan berisiko menjadi dogma, dengan kata lain, mati. Artikel ini mengajak untuk merenungkan konsep gerakan yang hidup, dan bagaimana fenomenologi serta pemikiran eksistensial dapat menjadi alat bantu untuk menjaga gerakan tetap bernyawa.


1. Gerakan sebagai Proses yang Hidup

Dalam pandangan gerakan hidup, perubahan adalah napas yang membuatnya terus bertahan. Seperti halnya organisme yang tumbuh, gerakan sejati adalah yang terus memperbaharui tujuan dan caranya, menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Gerakan yang merasa selesai pada akhirnya kehilangan daya hidupnya, dan mulai beralih menjadi sesuatu yang kaku, kehilangan daya kritisnya, dan bahkan berpotensi berubah menjadi hal yang semula ingin dilawannya. Di sinilah pentingnya refleksi dan evaluasi berkelanjutan.

Filosof Heraclitus pernah berkata, "Kita tidak pernah bisa melangkah di sungai yang sama dua kali." Prinsip ini menggambarkan bagaimana perubahan adalah inti dari eksistensi. Gerakan yang hidup harus merangkul perubahan ini, bukan menganggap dirinya sebagai "ide final." Sebab begitu ia menjadi final, ia berhenti menjadi hidup.

2. Penolakan terhadap Sakralisasi Profan

Dalam setiap gerakan, ada kecenderungan untuk mengultuskan hal-hal profan atau duniawi. Banyak gagasan atau ide yang pada awalnya hadir sebagai alat bantu gerakan malah berpotensi disakralkan, dianggap mutlak, dan tak lagi dipertanyakan. Akibatnya, kita justru menciptakan dogma baru yang mengekang dan menghambat kebebasan berpikir. Materi, pemikiran, atau ide tertentu dapat berubah menjadi "kitab suci" baru, yang dipegang erat tanpa pemahaman lebih lanjut, seolah-olah kehadirannya saja sudah cukup untuk memberi makna.

Sakralisasi ini berbahaya karena menutup ruang untuk eksplorasi dan inovasi. Padahal, dalam realitas yang terus berubah, dogmatisasi atas hal-hal duniawi hanya akan mempersempit ruang gerak. Untuk itu, gerakan hidup menuntut kita agar selalu kembali mempertanyakan makna sebenarnya dari tujuan-tujuan kita, tanpa terperangkap pada hal-hal yang sifatnya sementara.

3. Fenomenologi sebagai Alat Bantu Gerakan

Fenomenologi, yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, adalah metode untuk memahami realitas secara langsung, tanpa asumsi atau pra-anggapan. Fenomenologi mengundang kita untuk mengalami dunia sebagaimana adanya, bukan berdasarkan interpretasi yang dipaksakan dari luar. Melalui fenomenologi, kita mendekati pengalaman hidup dengan keterbukaan penuh, mengundang rasa ingin tahu yang otentik terhadap apa yang terjadi di hadapan kita.

Dalam konteks gerakan, fenomenologi membantu kita melihat dan memahami situasi dengan lebih murni. Sebuah gerakan yang digerakkan oleh fenomenologi bukan sekadar alat atau instrumen untuk mencapai sesuatu, melainkan pengalaman eksistensial yang hidup dan penuh kesadaran. Fenomenologi mencegah gerakan dari penafsiran yang terbatas dan dogmatis, sehingga ia selalu terbuka pada makna-makna baru yang muncul dari pengalaman konkret.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline