Lihat ke Halaman Asli

Muslim Indonesia dan Demokrasi

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rakyat Indonesia sudah mengakhiri Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan damai. Ketika Pilpres berlangsung rakyat terpecah menjadi dua, satu Pendukung Prabowo-Hatta dan lainnya mendukung Jokowi-JK. Demikian pula dengan partai, politisi, profesi, Kiai, agamawan dan artis tak terkecuali juga mantan aparat baik militer, polisi maupun birokrasi, masing-masing bebas menentukan pilihan tanpa ada tekanan.



Pertarungan Pilpres 2014 begitu keras dan masing-masing mengerahkan segala daya kemampuannya secara total. Bayang-bayang rusuh pun tergambar jelas di pelupuk mata. Sempat memang terjadi kekerasan pada saat terakhir sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) tapi secara umum penyelenggaraan Pilpres dinilai damai. Sekarang pihak-pihak yang bertarung sudah menerima keputusan MK secara legowo. Masyarakat bisa beraktivitas normal kembali. Dengan cepat masyarakat melupakan perbedaan pilihan di Pilpres. Penguasa pun puas karena ini merupakan torehan prestasi diakhir jabatan.



Dalam hal ini, bangsa Indonesia dapat berdiri sejajar dengan Amerika. Karena dalam berdemokrasi bisa melewati Pileg dan Pilpres dengan damai. Kondisi damai saat ini memang penting sebagai batu pijakan untuk menciptakan pemilu berkualitas kedepannya. Pemilu yang bersih, jauh dari kecurangan-kecurangan. Sesuai dengan semboyan pemilu itu sendiri Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil).



Sejajar dengan Amerika, wah hebat sekali? Ya, di Amerika pertarungan juga terjadi antara dua kubu, ketika itu Bush junior menang memenangkan Electoral College (EC), namun jumlah total Suara Pemilih (Popular Vote) dimenangkan oleh Gore. Sepertinya Gore, dengan keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun, memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya. Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai presiden baru. Tidak terkecuali Gore.



Selesai penghitungan suara oleh KPU, Kubu Prabowo membawa perselisihan pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi. Pasca Keputusan MK, Prabowo terus memanfaatkan celah yang ada seperti ke PTUN dan Mahkamah Agung. Meski pengamat dan sebagian mencibir sebagai buang-buang waktu, Ini dipandang wajar karena masih konstitusional. Tak ada salahnya.



Kubu Prabowo menilai hal ini sangat penting sebagai pembelajaran politik kedepan, bahwa pemilu bersih memang harus dihadirkan dan rakyat jangan dibiarkan terus-terusan hidup dalam kecurangan. Karena sejarah Pemilu di Indonesia selama ini coreng-moreng dan penuh catatan hitam.



Koalisi MP pun menerima keputusan MK dan selanjutnya bertekad untuk berkiprah di luar pemerintahan. Bertekad terus membangun Indonesia dan mensejahterakan rakyat dengan bersikap kritis pada pemerintah bila ada program yang tidak pro rakyat. Sebaliknya akan terus mendukung pemerintah terpilih bila memang program itu baik. Jadi KMP bukan koalisi destruktif.



Demikian pula Pemerintah terpilih Jokowi, akan menjalankan program pemerintah sebelumnya. Kalau kita lihat memang pemerintah sebelumnya didominasi oleh partai di KMP. Kini koalisi SBY itu menjelma menjadi Koalisi Merah Putih. Jadi di KMP minus PKB tapi masuk Gerindra. PKB menyeberang ke Jokowi dan Gerindra datang langsung memimpin. Seperti di Amerika, oposisi dan pemerintah pun silih berganti.



Muslim dan Demokrasi

Meski tadi diatas disebut sejajar, tapi, tentu saja ada perbedaan atau bisa disebut sebagai kelebihan Indonesia dibanding AS. Kelebihan itu adalah Rakyat Indonesia mayoritas muslim. Ditengah demokrasi sedang dihujat di Negara-negara timur tengah karena ternyata mengabaikan kemenangan umat Islam, seperti kasus Mesir, Pilpres 2014 di Indonesia berlangsung damai. Padahal orang-orang sempat mengkhawatirkan bahwa Prabowo akan mengamuk. Karena orang memaklumi dia sebagai mantan Prajurit. Tapi sejauh ini Prabowo terlihat tenang, bahkan bisa mengendalikan massanya dengan baik.



Indonesia Negara yang masih terseok-seok berkutat dengan kemiskinan bisa sukses menggelar Pemilu. Di tengah isu terorisme yang merebak dan ajakan Golput, partai-partai Islam bisa berkontribusi nyata. Apalagi penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa dan sekitar 133 juta lainnya ikut memilih. Ini adalah julah yang fantastis. Realitas penyelenggaraan pemilu dengan tingkat persaingan yang panas mendidih ini bisa berlangsung ini dengan sendirinya mematahkan stigma negatif bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara dengan mayoritas warganya umat Islam.

Selain perbandingan dengan Amerika diatas, Peristiwa Pemilu dan terutama Pilpres 2014 ini mengingatkan kita pada Pemilu 2014. Saat itu aroma persaingan ideology sangat kental. Ada kubu Islam Nasional dan Komunis. Ada perbedaan yang tajam. Sebagaimana saat ini, susah untuk mempertemukan PKS dan PDIP. Tapi pemilu berlangsung damai.

Ada koalisi merah putih yang didalamnya, diisi partai-partai berhaluan Islam atau dari sumber organisasi massa Islam. Ada PDIP dan partai Hanura serta Nasdem yang berhaluan Nasionalis.Tapi, di masing-masing kubu dalam pemilu Pilpres, primordialisme ini sudah membaur jadi satu.



KMP sudah memulai sesuatu yang baik, bahwa Pilpres bukan segalanya. Berkoalisi di luar pemerintahan juga akan memberi kontibusi untuk membangun Indonesia. Elit-elitnya bisa member contoh, meski kalah tapi tidak destruktif. Lihat saja Pilkada di beberapa daerah, begitu jagonya kalah terjadilah pembakaran atas aset-asetNegara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline