Rabu 15 februari 2017 Pilkada serentak tahap kedua akan berlangsung, sebanyak 101 daerah akan menentukan pilihanya untuk memilih para pemimpin daerah untuk priode lima tahun kedepan. Merupakan Suatu keniscayaan dari di pilihnya demokrasi sebagai sistim politik maka demokrasi itu di jelmakan dalam bentuk pemerintahan dari rakyat yang melahirkan adanya pemilihan langsung dari rakya. Kita tentunya tidak menginginkan bahwa hajatan rakyat ini di lewati begitu saja, karena rakyat tidak memiliki ketertarikan untuk memilih dan ikut serta, pilkada tidak bisa di posisikan secara eksklusif bagi pihak-pihak tertentu saja namun harus bersifat inklusif bagi para pemilih.
Negara memang tidak mengenal kewajiban untuk memilih (compulsory vote) seperti sistim yang di terapkan di Australia. Tetapi memilih di Indonesia merupakan hak bukan kewajiban sebagai warga negara. Yang berhak memilih adalah Warga Negara Republik Indonesia yang sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Walaupun demikian, Indonesia tetap menerapakan pembatasan
Ada pembatasan yang sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pembatasan tersebut secara tegas di sebutkan dalam pasal 56 jo pasal 57 yang menyebutkan pemilih yang berhak untuk memilih adalah : (a). WNI yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin, (b). Terdaftar sebagai pemilih (c). tidak terganggung jiwa/ingatan dan atau tidak sedang di cabut hak pilihnya.
Dengan ketentuan Undang-Undang di atas maka partisipasi pemilih bukanlah partisipasi semua warga negara, tetapi Warga Negara Indonesia yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pilkada dengan syarat-syaratnya. Masyarakat harus dapat melek politik (political literacy) dan meningkatkan partisipasinya sebab pada hakikatnya pelaksanaan kedaulatan rakyat itu di lakukan dengan menggunakan hak pilih yang telah di miliki.
Dalam penyelenggaraan pilkada partisipasi pemilih sering menjadi isu bersama karna berkaitan dengan seberapa banyak warga negara hadir untuk memberikan suara meraka di tempat pemberian suara. Tingkat partisipasi sering di hubungkan dengan legitimasi hasil pilkada, karna akan menentukan orang-orang yang dipilih oleh rakyat untuk menentukan jabatan tertentu. Pada konteks yang lain, partisipasi pemilih juga berkaitan dengan kepercayaan warga negara pada demokrasi, sistim politik, penyelenggara, dan pihak-pihak yang akan mewakili mereka untuk memerintah.
Potensi terjadinya penurunan partisipasi pemilih untuk di pilkada sesungguhnya telah terlihat. Pilkada serentak yang berlangsung pada putaran pertama di tahun 2015 mengalami penurunan. Data dari KPU mencatat pileg 2014 angka partisipasi 75,11 persen, Pilpres 2014 angkanya 71,31 persen dan Pilkada 2015 angkanya 69,14 persen hal ini meleset dari target KPU sebesar 77 persen. Penurunan ini terjadi karna beberapa faktor salah satunya akibat kasus korupsi.
Beberapa daearah yang mengalami penurunan tidak terlepas dari masalah korupsi. Daerah dengan partisipasi paling rendah pada pilkada tahap pertama yakni kota Medan sebesar 27 persen. Hal ini di nilai dari banyaknya pejabat daerah yang terlibat korupsi dari wali kota, bupati, anggota DPRD, hingga Gubernur. KPK mencatat sejak tahun 2007 telah ada 26 kasus korupsi di Sumut.
Karna begitu pentignya partisipasi pemilih di Pilkada membuat hal ini harus menjadi perhatian serius baik oleh penyelenggara, partai politik, serta calon kepala dearah. Tentunya di pilkada tahap kedua ini harapanya partisipasi pemilih tidak akan terjadi penurunan. Harapan itu ada karna jumlah daerah pada pilkada tahap kedua hanya 101 daerah berbeda pada tahap pertama yang mencapai 267 daerah. Selain itu penyelenggara bisa belajar dari pengalaman pilkada pertama sehingga dapat meminimalisir kekurangan yang ada.
Pada pilkada 15 Februari 2017 ini kita dapat belajar dan tak perlu mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Politik uang, diskriminasi, intimidasi, manipulasi suara, dan partisipasi pemilih yang menurun harus sudah di sudahi. Kita ingin melihat raksasa demokrasi ini tumbuh sehat dan mampu menjadi bagian dari sejarah penyelenggaraan demokrasi yang sukses di dunia.
Muhamad Saleh
Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Staf Peneliti Pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H