Tak banyak orang kampung seperti aku ini bisa sampai ke Athena, Yunani, kota yang menjadi episentrum peradaban dunia dengan segala bukti peninggalan situs historis yang menjadi rujukan sejarah dunia. Sebut saja Zeus, Acropolis, Parthenon, Olympus, Hercules, Aristoteles, kuda Troya, dan ilmuan Yunani kondang lain yang sering kita peroleh di buku sejarah dan film.
Brrrrrr, udara malam sejuk segera menyeruak kala aku tiba di bandara Eleftherios Venizelos Athena. Pesawat Volotea yang membawa ku dari Turin, markas nya Juventus, sangat baik hati, ongkos nya hanya 350 ribu!. Ini mungkin ongkos speedboat Sadewa Tarakan - Tanjung Selor, ibukota Kalimantan Utara pulang pergi. Berbekal informasi yang ku peroleh dari Youtube, aku naik bis bandara ke kota Athena, Syntagma Square, seperti alun-alun yang persis berada di pusat kota Athena.
Syntagma juga berarti konsitusi dimana penamaan ini diperoleh saat mereka memulai negara Yunani setelah lepas dari penjajahan bangsa Turki. Dari Syntagma square ini, aku jalan kaki menuju area Minastiraki dimana aku sudah membooking sebuah hostel bernama Bedbox.
Tanpa internet dan malam dini hari yang sebenarnya sudah masuk pagi, aku hanya mengandalkan insting untuk ke arah hotel. Berpatokan pada resto fast food bertanya pada orang Bangladesh yang banyak bekerja di resto Kebab, akhirnya aku tiba di hotel dengan selamat!
Teng teng teng, tiba-tiba suara lonceng yang sangat keras dari samping hostel, mengagetkan pagi ku. Suara lonceng itu berasal dari gereja Ortodoks. Segera ku buka pintu kamar dan menengok ke arah kanan, aku takjub melihat satu pemandangan diatas bukit yang selama ini hanya ku lihat dari gambar di buku dan telivisi. Magis. Itu adalah Parthenon, sang penguasa Acropolis! Tak tertahankan, aku ingin segera kesana. Ah masih pagi.
Namun, jiwa ini meronta, ini Athena bukan Tanah Abang, selelah apapun raga ini, kurang tidur dan kelelahan, namun aku harus segera menaklukan Acropolis, peninggalan sejarah keajaiban dunia ku yang ke 5, setelah Angkor Wat, Tembok China, Borobudur, dan Taj Mahal.
Sebelum menjelajahi Acropolis, tak elok rasa nya bila belum mencoba kuliner pagi orang Yunani, Koulouri, roti cincin bertabur wijen, yang di Istanbul disebut Simit. Kemudian aku juga mencoba kopi ala Yunani yang direbus dengan gelas kuningan bertangkai panjang diatas pasir panas, juga mirip seperti di Turki.
Sebenarnya tak heran, antara orang Yunani dan Turki memiliki kesamaan budaya juga kuliner, hanya beda penyebutan. Ini sudah terjadi sejak jaman Byzantium. Gyros orang menyebutnya di Yunani, tapi di Turki nama nya kebab. Tak lengkap juga rasanya kalo belum eksplorasi pasar sentral Athens yang menjual daging domba yang ku lihat agak ekstrem, kepala domba yang sudah dikuliti kepalanya, hanya bersisa tengkorak dan matanya, terbelalak. Ngeri.