Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Membohongi Diri Sendiri

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang ini adalah masa-masa dimana para siswa sekolah sedang melaksanakan latihan ujian atau biasa yang disebut Try Out guna menghadapi Ujian Nasional yang akan dilaksanakan sekitar bulan April. Tak terkecuali saya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas di salah satu sekolah di kota besar Indonesia. Suatu ketika sedang diadakan Try Out di sekolah saya untuk pertama kali. Tampaknya semua siswa akan merasa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal itu karena materinya diambil dasi kelas X, XI, dan XII. Jadi agak lupa-lupa gitu. Alhasil, nilai yang keluarpun do re mi fa sol alias 1, 2, 3, 4, 5. Paling mentok yang terbaik adalah nilai 5. Saya pun memaklumi keadaan ini. Dalam hati saya bertekad untuk mendapat nilai lebih baik pada Try Out berikutnya. Tekad dalam diri saya menghasilkan output yang positif: saya lebih giat belajar, mengurangi bermain hp, mengurangi game, dll. Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan saya jalani itu dengan penuh perjuangan dan hasilnya lumayan. Paling tidak ada peningkatan. Ada yang menarik dari perjalanan perjuangan saya tersebut. Yang menarik bukan saya. Tetapi pengamatan yang saya lakukan ketika menjalani latihan ujian tersebut. Betapa tidak, setiap diadakan latihan ujian, saya selalu mendengar suara-suara kecil yang penuh dengan trebble. Suara-suara tersebut seolah merupakan kode-kode yang membutuhkan pemahaman ekstra. Ya, kode itu adalah kode untuk menanyakan jawaban kepada teman. Di sini saya melihat beberapa teman-teman saya  saling bertanya jawaban dalam mengerjakan ujian. Menariknya, pengawas tidak tahu praktek ini. Kalau pun tahu, para pengawas hanya akan berkata "kerjakan sendiri" dan para siswa pun hanya diam. Setelah beberapa lama, praktek ini berlanjut lagi. Pernah suatu ketika saya mendapatkan nilai paling jelek di kelas saya, bahkan satu angkatan jurusan. Saya mendapat nasehat khusus dari guru saya. Saya pun mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan guru saya. Mungkin jika seseorang di hadapkan dalam situasi ini akan merasa malu dan tertekan secara psykologis. Namun tidak dengan saya. Dalam hati saya berbicara "Saya mengerjakan itu dengan jujur. Itulah kemampuan saya. Saya tidak malu.". Saya juga tidak heran jika nilainya rata-rata bagus. Lha wong kerjanya berjamaah kok. Padahal ujian itu sendiri memiliki esensi mengetahui kemampuan diri sendiri. Bukan hanya cari nilai baik. Setelah kejadian itu saya berusaha merefleksikan diri kembali, mengevaluasi diri dan saya bertekad untuk lebih giat dalam belajar dan saya tetap pada pendirian saya untuk mengerjakan sendiri. Waktu berjalan semakin cepat. Tak terasa sudah hampir menginjak hari H. Namun, masih terdengar di telinga dan nampak di mata saya praktek Pembohongan Diri tersebut. Saya merasa prihatin dengan fenomena tersebut. Bagaimana tidak, padahal beberapa tahun ke depan negeri ini akan dipimpin oleh para generasi muda. Apabila generasi muda sekarang sudah tidak jujur, bagaimana kelak akan memimpin negeri ini? Apakah mereka benar-benar berkompeten? Mari bercermin. Saya tidak lebih pandai dari teman-teman, dan di sini saya tidak akan melarang teman-teman dan pembaca dengan berkata "Jangan mencontek!" tetapi saya lebih ingin menunjukkan esensi dan makna dari ujian itu sendiri. Pada hakikatnya, Ujian adalah tolak ukur untuk mengetahui kemampuan diri sendiri. Semoga Tuhan selalu memberikan kita petunjuk dan memudahkan segala urusan kita; termasuk diberikan kelulusan dengan nilai yang "terbaik". Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline