Dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 10 tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan tenaga Kependidikan, dinyatakan bahwa perlindungan dimaksudkan sebagai upaya melindungi pendidik dan tenaga kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait dengan pelaksanaan tugas.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, serta kebebasan individu untuk menggunakan haknya, dewasa ini telah terjadi pergeseran pandangan berbagai pihak terhadap hak dan kewenangan guru.
Di satu sisi guru berniat untuk melaksanakan tugas profesinya dalam mendidik peserta didiknya dengan menjalankan konsep reward and punishment, mendisiplinkan peserta didik dalam berbagai hal yang terkait dengan dunia pendidikan, di sisi lain ada batasan-batasan yang kadang tersamar atau abu-abu, mana batas tindakan yang edukatif sesuai dengan kewenangan, dan mana yang bagian yang di luar garis kewenangan, sehingga bisa terjadi tindakan punishment oleh guru yang dimaksudkan sebagai tindakan untuk mendidik malah dianggap tindakan kekerasan atau pelanggaran yang melawan hukum.
Akibat kesalahpahaman atau sebab lain antara para pihak, dalam melaksanakan tugasnya guru sering mendapat tindakan kekerasan.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, berupa Kekerasan secara fisik, yaitu tindakan atau perbuatan yang dilakukan kepada guru oleh pihak lain yang mengakibatkan terjadi suatu penderitaan atau rasa sakit secara fisik. Bentuk kekerasan tersebut, antara lain memukul, melempar, menempeleng, meninju, menendang, mendorong, menginjak, menjambak, menjewer, dan lain lain.
Adapula Kekerasan secara psikis, yaitu tindakan atau perbuatan yang dilakukan kepada guru oleh pihak lain yang mengakibatkan penderitaan atau rasa sakit secara psikis. Bentuk tindak kekerasan secara psikis tersebut antara lain, menghina, membentak, mencaci-maki, menuduh, menyindir, meledek, memfitnah, menteror, mengucilkan, mendiamkan, merendahkan, menyepelekan, dan lain lain.
Kekerasan seksual, kekerasan seksual pada umumnya terjadi kepada guru perempuan, yaitu tindakan atau perbuatan pihak lain yang mengakibatkan penderitaan atau rasa sakit, baik secara fisik maupun secara psikis, bentuknya antara lain, meraba, memegang, meremas, menggesek, mengelus, mencium, memeluk, mendekap, menyetubuhi.
Hal tersebut dilakukan secara paksa bahkan di bawah tekanan atau ancaman.Kekerasan secara virtual melalui media sosial, yaitu perbuatan yang mengakibatkan penderitaan atau rasa malu atau sakit hati, contohnya antara lain, mengirim kata-kata atau kalimat dengan menggunakan nama-nama binatang, foto guru yang bersangkutan yang direkayasa, gambar atau film porno, ancaman, intimidasi, dan lain lain.
Kondisi saat ini mengisyaratkan bahwa semua guru dan tenaga kependidikan hendaknya memiliki pemahaman atau persepsi yang sama tentang mana batas-batas antara tindakan yang masuk dalam wilayah pendidikan dan mana batas yang di luar wilayah pendidikan.
Caranya antara lain dapat dilakukan dengan mengadakan diskusi tentang hal-hal di atas, dengan melibatkan berbagai ahli di bidang pendidikan, guru, hukum, perlindungan anak, dan lain lain untuk mencari titik temu batas-batas antara tindakan pendidikan dan pelanggaran.
Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Sutanto, 2018) mengungkapkan bahwa, menghadapi berbagai kasus kekerasan yang masih terjadi, maka perlindungan yang paling utama bagi guru adalah membangun "self respected".