(26/10/2022)- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 nyatanya bukan hanya berjuang dari belenggu penjajahan yang terjadi selama ratusan tahun lamanya.
Keberhasilan untuk mempertahankan kemerdekaan sebetulnya sudah dilakukan semua elemen bangsa tanpa terkecuali namun, rupanya rongrongan guna merubah bentuk negara ini masih timbul sampai tahun 1950-an termasuk di Kalimantan Barat.
Adanya intrik politik dan perbedaan pandangan akan bentuk negara menjadi permasalahan utama yang terjadi di Kalimantan Barat, setidaknya sejak tahun 1945.
Perebutan kekuasaan selepas hengkangnya Jepang dari bumi Borneo, rupanya dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menguasai wilayah tersebut sebetulnya bermula dari diterimanya kembali Belanda dalam hal ini adalah Netherlands Indies Civil Administration ( NICA) pada tanggal 22 Oktober 1944 di bawah pimpinan Van der Zwall.
Sayangnya penerimaan oleh para bangsawan dalam hal ini pemimpin swapraja justru menjadi cikal bakal konflik di Kalimantan Barat yang mencapai puncaknya pada tahun 1950.
Konflik yang terjadi ini bukan hanya disebabkan oleh adanya ketidakjelasan baik dari Republik Indonesia Serikat ( RIS) yang lambat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan namun juga diakibatkan oleh adanya beberapa kelompok atau organisasi yang memperkeruh keadaan di Kalimantan Barat pada khususnya.
Dua diantaranya yang paling memperuncing masalah adalah Daerah Istimewa Kalimantan Barat ( DIKB) dan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) keduanya saling berebut kekuasaan dan perbedaan pandangan sehingga memicu kepada kegeraman terhadap masyarakat yang sudah berang dengan kolonialisme.
Meskipun kedua organisasi tersebut bisa dikatakan lamban dalam merespon segala sesuatu satu organisasi lainnya bernama Gabungan Persatuan Indonesia ( GAPI) lah yang bisa dikatakan paling konsisten dan terus mendesak kedua organisasi lainnya agar secara sukarela melakukan integrasi dengan RIS.
GAPI pula yang menjadi inisiator agar bendera merah putih dikibarkan sejak tanggal 18 September 1949 dengan syarat berdampingan dengan bendera Belanda. Hal ini dilakukan setelah dilakukannya desakan terhadap DIKB yang mayoritas berisikan para pemimpin penganut feodalisme dan aristokrat. Sampai akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1949 bendera merah putih boleh dikibarkan di seluruh wilayah Kalimantan Barat tanpa syarat apapun.
Tensi politik kembali hangat ketika Sultan Hamid II yang merupakan pemimpin dari negara-negara boneka bentukan Belanda terus menerus melakukan dialog dengan Mohammad Hatta terutama menjelang persiapan dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag, Belanda yang dilaksanakan mulai tanggal 23 Agustus 1949.