Di pinggiran Pontianak Tenggara, tepatnya di Kelurahan Bansir Darat, terdapat sebuah rumah tempat tinggal bagi keluarga Buk Ru'ah. Buk Ru'ah, yang berusia 43 tahun, memegang peran sebagai ibu rumah tangga dan hanya menyelesaikan sekolah hingga tingkat SD. Ia tinggal bersama dengan 4 anggota keluarganya, yaitu suaminya, ibu mertuanya yang sudah lanjut usia, dan anaknya yang masih bersekolah di SMP.
Suaminya bekerja sebagai petani padi untuk menyediakan nafkah bagi keluarga. Mereka mendapatkan pendapatan sekitar 1.000.000 rupiah per bulan dari hasil pertanian padi dan daun bawang di tanah sewaan. Dari pendapatan tersebut, mereka harus memenuhi kebutuhan pokok seperti listrik, pendidikan anak, dan makanan sehari-hari. Keluarga ini harus berhemat agar bisa makan 2 kali sehari.
Mereka pindah kerumah ini dikarenakan mereka mengungsi dari kerusuhan di Sambas pada tahun 1998. Rumah ini seluas 10 meter panjang x 5 meter lebar. Rumah ini memiliki kokoh yang terbuat dari tembok semen yang membatasi 4 ruangan di dalamnya. Atapnya sepenuhnya terbuat dari seng, sedangkan lantai selasarnya terbuat dari keramik, lantai ruang tamu dan kamar terbuat dari kayu, dan lantai dapur dari semen. Mereka masih mengandalkan air hujan untuk kebutuhan minum, dan menggunakan air PDAM untuk mandi dan mencuci. Selain itu, di bagian belakang rumah terdapat toilet dan septic tank untuk keperluan mandi dan buang air.
Keluarga ini sudah mendaftar sebagai penerima Bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dalam kategori Anak SMP. Namun, bantuan yang mereka terima hanya sekitar 150-200 ribu rupiah per 3 bulan. Hal ini membuat mereka bertanya-tanya karena tetangga sekitar yang juga menerima bantuan PKH mendapatkan sekitar 400 ribu Rupiah per 3 bulan. Mereka juga melihat tetangga-tetangga mereka mendapat bantuan berupa beras, sementara keluarga Buk Ru'ah tidak mendapatkannya. Meskipun sudah berusaha melaporkan masalah ini ke kelurahan, sampai sekarang belum ada perubahan.
Buk Ru'ah dan keluarganya menggunakan daya listrik 900 watt untuk menerangi rumah mereka, yang terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, dan dapur. Satu kamar untuk buk Ru’ah dan suaminya dan satu kamar lagi untuk ibu mertua dan anaknya. Dalam dapur itu, mereka memasak menggunakan gas 3 kg.
Meskipun hanya memiliki dua motor, satu kulkas, dua handphone dan satu rice cooker sebagai aset, mereka telah berusaha menjaga penggunaan listrik agar tetap efisien. Namun, dengan bantuan sosial yang minim dan pendapatan yang rendah, mereka masih kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tanggungan anak yang masih bersekolah di tingkat SMP dan keberadaan seorang lansia di dalam rumah tangga menambah beban mereka. Setiap hari, mereka harus berjuang untuk menyediakan makanan, memastikan anaknya dapat mengikuti pendidikan dengan baik, dan juga merawat lansia di keluarga. Selain itu suami buk Ru”ah juga seorang pencandu rokok yang membuat pengeluaran mereka semakin membengkak. Keluarga ini memiliki frekuensi pengeluaran sekitar 30-50 ribu rupiah. Ketika ada anggota keluarga yang sakit, mereka bergantung pada puskesmas terdekat atau rumah sakit jika kondisinya memerlukan perawatan intensif. Keluarga Meskipun mereka berusaha bekerja keras dan memanfaatkan semua sumber daya yang mereka miliki, namun tetap saja ada keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Dengan kisah ini, kita diingatkan akan pentingnya bantuan sosial yang memadai bagi keluarga-keluarga seperti Buk Ru'ah. Semoga pemerintah dan pihak terkait dapat memberikan perhatian lebih dan bantuan yang cukup untuk membantu mereka mengatasi kesulitan ekonomi yang mereka hadapi.