Lihat ke Halaman Asli

Sukamto

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hidayat, 8 Maret 2011

Seberapa pentingkah Sukamto bagi saya, dan bagi Indonesia?

Almarhum Sukamto adalah teman SMP saya yang ikut menjadi korban meninggal pada erupsi Merapi November lampau. Ia seorang yang sangat santun dan ramah. Kulitnya kuning, dan wajahnya selalu tersenyum, seakan-akan senyumnya sudah dipatenkan menjadi hak monopoli intelektualnya. Anda tidak mungkin menjumpainya tanpa tersenyum, seakan-akan mensyukuri gigi-giginya yang putih, bahkan terlampau putih dan bersih untuk ukuran penambang pasir.

Namun dibalik kesederhanaan pakaiannya, ke-ndeso-an aksen Jawanya, dan keterbatasan ekonominya, tersimpan jiwa yang sangat mulia, di tempat dimana Tuhan mengintip dan berbisik memperlihatkan keagungan-Nya kepada orang-orang terpilih.

Sukamto teramat mulia untuk ukuran orang Indonesia rata-rata. Ia teramat kurang masuk akal untuk ukuran manusia mall, manusia bioskop, dan manusia jazz. Ia membaktikan jiwa raganya untuk Ibunda tercintanya, dan akhirnya rela mati bersamanya, menghadapi maut dan beratus-ratus derajat panas material Merapi yang menerjang dan menguburnya bersama tenda-tenda pengungsian Glagaharjo.

Ketika gemuruh suara Merapi semakin menggetarkan bumi di tengah malam, ketika para relawan-relawan Hollywood sibuk mengevakuasi relawan lainnya, ketika para polisi sibuk menyelamatkan satuannya, ketika wartawan sibuk mengklaim satu kursi di mobil evakuasi, terjadilah kepanikan di antara pengungsi. Sukamto yang saat itu menunggu Ibundanya yang sedang sakit stroke di sebuah tenda enggan beranjak pergi. “Aku akan menunggu Ibu, kalian pergi saja duluan,” teriak Sukamto kepada teman-temannya, ketika mereka mengajaknya untuk lari. Tentu Sukamto mahir berlari, ia dikenal sebagai salah satu pemain sepak bola yang handal. Tapi bisikan nuraninya tak mau dan tak mungkin berlari dari sosok Ibunya yang lumpuh di tengah-tengah kepanikan luar biasa itu.

“Saya akan tetap disini menemani Ibu. Ibu tenang dan sabar ya,” bisik Sukamto di telinga Ibundaya. Air matanya menetes perlahan ketika ia memeluk Ibunya, mencium pipinya, menuntunnya untuk selalu ingat pada Allah. Sebagai anak yang paling kecil, dan satu-satunya yang belum menikah, ia mendarma-baktikan jiwanya secara total untuk merawat orang yang telah membesarkannya. Toh siapa lagi guru Sukamto yang sejati? Yang mengajarnya rela berkorban, bersabar dan prihatin selain Ibunda tercintanya? Namun siapa sangka anak laki-laki satu-satunya akan rela dan ikhlas menerapkan nilai-nilai yang dulu ia tanamkan, untuk menemaninya dengan gagah berani menuju gerbang kehidupan sejati manusia. Menuju titik awal dimana semuanya menjadi nyata.

Sukamto membuat saya sangat malu. Ia selalu mengusik hati. Ia memaksa saya meneteskan air mata. Ia melampaui segala kepalsuan yang melingkupi hidup orang Indonesia yang tak kenal malu akan ketersesatannya. Ia bukan siapa-siapa. Bukan manusia musik atau manusia seni atau manusia intelek. Ia bukan manusia komputer. Ia lebih mulia dari semua embel-embel eksistensi manusia modern. Ia hanya tak mempan tipu daya.

Dan beberapa telah disapa Sukamto. Dan ia tetap tersenyum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline