Phantom limb pain dirasakan oleh 80% pasien yang melakukan amputasi. Dulu fenomena ini dianggap sebagai fenomena kejiwaan sehingga banyak penderita yang takut mengungkapkannya karena khawatir dianggap memiliki gangguan jiwa.
Phantom Limb Pain
Phantom limb pain merupakan fenomena dimana seseorang yang diamputasi masih dapat merasakan sensasi atau rasa sakit pada bagian tubuh yang telah hilang. (Flor, 2002) mengemukakan bahwa rasa sakit yang dialami penderita berbeda beda, ada yang merasakan sakit yang luar biasa seperti sengtan listrik dan ada juga yang merasakan pergerakan tubuh, gatal, hangat atau dingin, dan kesemutan.
Fenomena ini sudah ada sejak abad ke-16 yang didokumentasikan oleh ahli bedah asal prancis, Ambroise Par. Pada abad itu fenomena ini dianggap sebagai masalah psikologis sehingga banyak korban amputasi perang yang merasakan fenomena ini takut mengungkapkannya karena khawatir dianggap memiliki gangguan jiwa (Collins et al., 2018).
Seiring perkembangannya ternyata Phantom limb pain bukan merupakan gangguan kejiwaan namun disebabkan oleh dua faktor yang secara ilmiah disebut SSP (Sistem Saraf Pusat) dan PNS (Sistem Saraf Tepi). Meskipun faktor psikologis tidak termasuk, ia tetap menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keparahannya. Bagaimana penjelasannya?
Faktor SSP (Sistem Saraf Pusat)
Faktor SSP dianggap sebagai penentu utama dari fenomena ini. Ketika dilakukan pemindaian pencitraan pada otak dengan MRI, hasilnya bagian otak yang terhubung dengan saraf tubuh yang diamputasi menunjukkan adanya keaktifan ketika penderita mengalami phantom limb pain.
Teori SSP yang paling umum saat ini merupakan CRT (Cortical Remapping Theory) atau teori pemetaan ulang kortikal dimana setelah amputasi otak akan merespon bagian tubuh yang hilang dengan mengatur ulang peta somatosensoris. Dengan kata lain, bagian tersebut hilang dan tidak dapat menerima informasi sensoris.
Maka dari itu otak dapat mengatur ulang dan merujuk informasi ke bagian tubuh lain misalnya saja ke wajah sehingga ketika wajah disentuh seolah olah tangan juga terasa tersentuh. Selain itu karena tidak adanya umpan balik dari tubuh yang hilang otak merespon adanya sesuatu yang janggal dan menghasilkan rasa sakit.
Representasi visual juga turut mempengaruhi, misalnya berdasar pada penelitian tangan karet. Pada penelitian ini tangan yang utuh akan disembunyikan di bawah meja dan tangan karet diletakkan di depannya.