Lihat ke Halaman Asli

Adakah Filosofi dalam Pelaksanaan Qurban?

Diperbarui: 20 Juli 2021   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kita semua sudah mengetahui, khususnya umat Islam di seluruh dunia, memiliki dua hari raya yang rutin disambut setiap tahunnya. Yaitu Hari Raya Idul Fitri dan juga Hari Raya Idul Adha atau yang juga dikenal dengan Idul Qurban. Alasan Hari Raya Idul Adha ini disebut juga dengan nama Idul Qurban adalah dikarenakan pada hari raya tersebut atau pun bisa juga selama tiga hari setelahnya (Hari Tasyrik) dilaksanakan penyembelihan hewan ternak seperti kambing, domba, sapi, ataupun unta atau juga bisa disebut hewan Qurban.

Secara historis, awal terjadinya Qurban sudah ada sejak zaman Nabi Adam a.s yaitu ketika menyelesaikan perselisihan antara dua putra tertua beliau. Lalu kemudian kita juga mengetahui peristiwa Nabi Ibrahim a.s mengorbankan putra tercintanya yaitu Nabi Ismail a.s sebagai bukti kecintaannya kepada Sang Pencipta yang kemudian digantikan tempat putranya disembelih tersebut dengan keberadaan domba sehingga Ismail tidak tersembelih sebagai hadiah dari Allah atas ketaatan Ibrahim serta kesabaran pada Ismail. Yang mana jika dipikir secara logika manusia biasa tidak mungkin seorang ayah menyembelih anaknya yang sudah dinantikan berpuluh-puluh tahun lamanya. Namun cinta Ibrahim kepada Sang Maha Kuasa melebihi kecintaannya terhadap apapun di dunia termasuk kepada putranya.

Berbagai tulisan dan artikel yang membahas mengenai perjalanan historis pelaksanaan Qurban ini sendiri tentu sudah banyak dan kita tentu saja hafal di luar kepala. Namun penulis mencoba mengajak para pembaca agar menilik apa filosofi dari pelaksanaan Qurban ini. Karena tidak mungkin jika Allah memerintahkan atau melarang sesuatu jika tidak ada maksud ataupun pelajaran yang bisa kita petik dan kita juga mengetahui bahwa Allah adalah Sang Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Walaupun pada akhirnya setiap orang memiliki perspektif yang berbeda mengenai hikmah atau esensi dari pelaksanaan Qurban.

Kembali kepada alasan Nabi Ibrahim a.s menaati perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail bukannya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sebelumnya Ibrahim sudah bertanya kepada Ismail apakah ia bersedia dikorbankan demi menaati perintah-Nya. Tak kalah dari ayahnya, Ismail menaati disebabkan itu adalah perintah Allah yang tidak boleh dilanggar. Itu semua tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya dua hal yaitu Iman dan Cinta. Iman yang begitu kuat kepada Allah sehingga apapun perintah akan ditaati meskipun diluar batas nalar manusia, dan cinta kepada Allah menembus segala keraguan yang ada sehingga rela dan ikhlas melakukan apapun demi menaati Sang Pencipta. Kita tentu sering melihat ada orang yang sanggup berzikir tanpa henti ataupun shalat semalam suntuk, hal itu tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya dua elemen penting yang saling berhubungan tadi. Selayaknya seorang Ibu sanggup melahirkan anaknya yang penuh penderitaan disebabkan kecintaannya terhadap sang buah hati dan keyakinan kuat pada Tuhan pasti akan menolongnya, ataupun seorang ayah berlelah-lelah bekerja siang-malam dengan adanya cinta kepada keluarganya serta keimanan kepada Allah bahwa ia akan diberikan kemudahan dan jalan mendapatkan rezeki. Itu semua membuktikan dengan adanya cinta dan iman manusia bisa melampau sekat-sekat keterbatasan dan keputusasaan.

Selain itu, jika kita menelaah kembali Qurban seorang Ibrahim yang kala itu mengharapkan kelahiran seorang anak demi melanjutkan estafet dakwah dari segi materil tentu bukan main-main. Tidak mudah bagi manusia untuk mengorbankan sesuatu yang sangat berharga, apalagi seorang anak yang sudah dinantikan kelahirannya selama berpuluh-puluh tahun. Namun bagi Ibrahim itu masih lebih murah daripada kecintaannya kepada Allah, namun tidak meninggalkan kebijaksanaan yaitu dengan bertanya terlebih dahulu kesanggupan putranya apakah bersedia dikorbankan. Hal ini menunjukkan bahwa kecintaan dan iman bukanlah pembenaran bagi seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan, dalam hal ini Ibrahim tidak langsung menyembelih anaknya walaupun itu adalah perintah Allah. Hal ini yang seringkali terlupa bagi kita sebagai orang-orang yang beriman, ketika kita merasa cinta yang begitu dalam serta iman yang kuat kepada Tuhan tanpa pertimbangan yang matang dan kebijaksanaan dalam berpikir berujung pada kerugian pada diri sendiri ataupun orang yang dekat dengan kita, begitupun sebaliknya terlalu banyak berpikir dan pertimbangan menyebabkan kita selalu was-was dan mengesampingkan ibadah. Maka tidak sempurna jika kita mengimani dan mencintai tanpa adanya kebijaksanaan dan pertimbangan dari diri kita. Sebagaimana kata filosofi yang berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline