Lihat ke Halaman Asli

Dr Muhamad Erwin SH M Hum

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Hari Lingkungan Hidup Sedunia ke-46 (5 Juni 2018) dan Kebutuhan Loncatan Paradigma terhadap Lingkungan

Diperbarui: 4 Juni 2018   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Manusia itu adalah makhluk yang lemah. Bayi semut dapat bertahan hidup dengan tidak minum selama dua hari, sementara bayi manusia tidak. Cerminan terhadap lemahnya manusia tersebut, selama ini begitu digaungkan pada pelajaran sekolah dengan seringkali menghubungkannya pada keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Di mana untuk berhubungannya jiwa dan raga manusia, maka manusia itu harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Menurut Maslow, kebutuhan dasar manusia itu terklasifikasi atas kebutuhan untuk makan, sandang, dan papan (food, clothing, shelter), pengembangan diri (self actualization), jaminan terhadap keamanan diri dan harta bendanya (safety of self and proferty), harga diri (self esteem), dan cinta kasih (love) (Saut Parulian Panjaitan, 1998: 47). Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya tersebut, manusia harus senantiasa berhubungan dengan manusia lain.

Padahal, jika direnungkan secara lebih mendalam, pada dasarnya manusia itu adalah makhluk ekologis. Dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup dan berkembang menjadi manusia tanpa alam, tanpa lingkungan ekologis. 

Pada level biologis, manusia tidak dapat hidup tanpa air, udara, dan makanan yang disediakan alam. Tidak ada ekonomi, tanpa mengandalkan jasa alam dan tidak dapat hidup sebagai makhluk berbudaya sebagaimana adanya tanpa alam. 

Namun, dalam hubungan tersebut mengapa dalam kehidupan manusia itu dihadapkan dengan berbagai bencana alam? Kemudian, manusia melakukan kajian ilmiah yang kemudian melahirkan  hipotesis bahwa bencana alam itu terjadi sebagai gejala alam ataupun musiman. 

Lantas, mengapa bencana alam itu terjadi dari tahun ke tahun. Muncul kegelisahan tentang nasib alam semesta, nasib bumi, serta nasib makhluk termasuk manusia. 

Kegelisahan itu merupakan salah satu pangkal filsafat, yakni penasaran tentang hal ikhwal yang belum dapat dipahami, baik tentang lingkungan itu sendiri maupun tentang sebab musabab dari krisis dan bencana lingkungan itu. Selanjutnya, kegelisahan itu membutuhkan perenungan.

Tesis utama yang menjadi pondasi dasar pada perenungan tersebut adalah bahwa krisis dan bencana lingkungan itu disebabkan oleh  kesalahan perilaku manusia. Sebagaimana diungkap pada Surah Ar-Rum ayat 41, bahwa "Telah timbul kerusakan-kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri....". Jika direnungkan secara mendalam, maka bertemulah dengan jawaban bahwa kesalahan perilaku manusia itu disebabkan oleh karena kesalahan dalam cara pandang atau berpikir terhadap alam dan lingkungan.

Perkembangan Paradigma Lingkungan

Dalam sejarah awalnya, pandangan manusia terhadap alam dan lingkungan lebih  bersifat kepada paradigma magish-religius. Dimana hubungan manusia dengan alam banyak disampaikan lewat mitos atau dongeng-dongeng yang menggambarkan keterkaitan erat antara manusia dengan alam tempat mereka tinggal. Kemudian pada abad ke 6 Masehi sampai 14 Masehi yang berkembang adalah paradigma organis

Pandangan manusia terhadap alam dan lingkungan masih dipengaruhi oleh religiusitas (iman), namun juga didasarkan akal budi untuk memahami makna dari alam semesta. Pada paradigma ini, hubungan manusia dengan alam dipandang secara organis (hidup) sebagai satu kesatuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline