Pada setiap tanggal 20 Mei yang merupakan hari lahir organisasi Boedi Oetomo telah ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1948 di Yogyakarta sebagai hari kebangkitan nasional, yakni sebagai hari sadarnya serta bangkitnya rasa kebangsaan Indonesia.
Eksistensi kebangsaan tentulah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya sendiri. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa pergerakan atas kebangsaan Indonesia itu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari simpul nilai-nilai (filsafat) yang hidup dalam masyarakat Indonesia itu sendiri, termasuk dari corak hukum adatnya.
Hukum Adat dan Kebangsaan
Sumber pengetahuan (epistemologi) atas hukum adat adalah terletak pada ekspresi terhadap rasa keadilan dan kepatutan masyarakat. Hukum adat sebagai suatu sistem memiliki karakter khusus yang hanya dapat ditemukan di bumi Nusantara. Terdapat kecendrungan di dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku terhadap peranan dan fungsi. Kecendrungan tersebut bersifatkan religiusitas, kebersamaan, konkrit, dan kontan.
Religiusitas sebagai corak hukum adat diartikan sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifatkan sakral. Disini perasaan religius diwujudkan dalam upaya mencegah terjadinya disharmoni, dalam artian diperlukan adanya keseimbangan dalam kehidupan.
Adapun pengaruh corak religiusitas ini terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia telah diperankan oleh organisasi Sarekat Islam yang pada saat itu dimotori oleh H. Oemar Said Tjokroaminoto yakni dengan memberikan semangat kebangsaan bagi masyarakat luas bahwa telah terjadi disharmoni, dimana bentuk ketidakseimbangan kehidupan pada saat itu bahwa kaum pribumi dijuluki sebagai "seperempat manusia".
Setelah pergerakan kebangsaan untuk menghadirkan manusia Indonesia seutuhnya telah mencapai harmoninya, maka corak religiusitas tersebut dirumuskan oleh para founding fathers ke dalam perjanjian luhur bangsa Indonesia pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dengan klausul "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa..".
Selanjutnya sangat perlu pula untuk memerhatikan tambahan frasa "...dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur...". Frasa tersebut menunjukkan adanya kebijaksanaan atau kearifan lokal yang berasal dari perenungan secara mendalam terhadap kehidupan budaya dan alam semesta. Sementara hukum adat itu sendiri bersumber dari alam dan budaya.
Sementara pada corak kebersamaan dalam hukum adat terkandung asumsi bahwa setiap individu sebagai anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat keseluruhan. Pengaruh corak kebersamaan ini bagi pergerakan kebangsaan telah diprakarsai oleh beberapa pelajar sekolah kedokteran STOVIA melalui organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 dengan cita-cita memperjuangkan persamaan hak dan memajukan ekonomi pribumi.
Kalaupun sejak awal Boedi Oetomo telah menghadapi banyak tantangan dimana kaum terpelajar di Hindia Belanda saat itu masih terpecah dalam banyak pertentangan dalam pikiran di antara feodalisme versus demokrasi, Islam versus kejawen, nasionalisme versus sektarianisme Jawa, kelas atas versus kelas bawah, namun pada akhirnya corak komunal telah merasuk ke dalam kongres pertama Boedi Oetomo 1908, dimana diyakini bahwa setiap kepentingan sektarian sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan kebangsaan karena tidak ada kelompok yang terlepas dari masyarakatnya.
Kemudian pada tahun 1912 berdiri partai politik pertama bagi masyarakat Hindia Belanda, yaitu Indische Partij oleh dr. Ernest FE Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Partai itu mempunyai semboyan "Indie voor Indische" (Hindia untuk orang Hindia). Semboyan itu kemudian tumbuh menjadi nasionalisme Hindia dan akhirnya menjadi nasionalisme Indonesia.