Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Daerobi

Ga Neko-neko, sederhana saja, mencoba jadi pembaca yg cinta kesederhanaan

Jalan Terjal Uji Materi UU Cipta Kerja

Diperbarui: 17 Oktober 2020   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 2016 silam, sebelum Mahfud MD menjadi Menkopolhukam, dia mengkritisi soal ribuan perda/perkada yang dicabut oleh Presiden Jokowi.  Dia mengusulkan perda/perkada hanya bisa dicabut melalui dua mekanisme, yaitu lewat uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atau melalui mekanisme di legislatif. Karena mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif review) jelas perbuatan perbuatan inkonstitusional dan berpotensi disalahgunakan.

Lalu, selang beberapa tahun, kewenangan pembatalan perda oleh eksekutif yang termuat dalam pasal 251 ayat 1, 2 & 7 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,  dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 56/PUU-XIV/2016 dan putusan yang sama sebelumnya 137/PUU-XIII/2015. Bahwa kewenangan eksekutif untuk membatalkan peraturan di bawahnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun putusan MK tersebut menjadi rancu, pada saat yang sama di dalam UU Cipta Kerja, terdapat prinsip hirarki peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). (Lihat Pasal 181, UU Cipta Kerja, hal. 587)

Meski bukan klausul 'pembatalan', namun kata 'harmonisasi dan sinkronisasi' dipahami secara tidak tidak langsung  menyalahi prinsip peraturan perundangan-undangan. Ketentuan ini jelas berpotensi disalahgunakan oleh eksekutif, selain itu juga bertabrakan dengan prinsip dan subtansi peraturan perundangan dalam konteks fungsi dari PP sebagai pelaksana teknis dalam sebuah undang-undang, tetapi PP bisa merubah kerangka subtansi peraturan yang dirasa tidak harmonis. Entah berjenis peraturan perundang-undangan atau produk hukum dibawah UU seperti Peraturan Daerah (perda) dan lainya. Pasal ini jelas tidak mengakomodir prinsip desentraliasi peran daerah dalam tata kelola pemerintahan, yang pada akhirnya porsi dan peran eksekutif terlalu besar dalam pemerintahan. Ini tidak hanya merusak prinsip demokrasi, tetapi juga berpotensi disalahgunakan oleh Eksekutif.

Lalu pertanyaannya, mengapa pasal mengenai peran pusat atas daerah mencuat kembali? Padahal jauh sebelum hadirnya UU Cipta kerja, Mahfud mengkritisi soal tersebut. Apakah ini titipan atau memang luput dari pengawasan Mahfud selaku Menkopolhukam. Yang jelas, hanya beliau yang bisa menjawab persoal ini. Tetapi yang jelas publik menangguhkan komitmennya, khususnya yang berkaitan dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UU Cipta Kerja.

Ketidakjelasan Prinsip Umum dalam Peraturan Perundang-undangan

Selain itu, masalah lain ditemukan dalam UU Cipta kerja yaitu dihapusnya penjelasan prinsip umum tentang kategori peraturan perundang-undangan yang bisa dibatalkan. Dimana ketentuan tersebut diatur jelas dalan kerangka hirarki peraturan-perundangan, seperti termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan dijelaskan secara rinci dalam pasal  250 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:

1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.      terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;

b.      terganggunya akses terhadap pelayanan publik;

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline