Sebelum menulis artikel ini, beberapa hari sebelumnya saya membaca sebuah berita online, dengan judul cukup sensitive bagi sebagian kalangan dengan judul, "Soal Perda Syariah, Grace Natalie Dilaporkan ke Bareskrim Polri". Dalam beritanya, Grace Natalie mengatakan bahwa PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa," kata Grace saat berpidato dalam acara ulang tahun PSI yang keempat di ICE BSD, Tangerang Selatan, Ahad, 11 November 2018. (Tempo/11/11/2018, Soal Perda Syariah Grace Natalie Dilaporkan Ke Bareskrim Polri).
Pernyataan tersebut ternyata menuai polemik sekaligus menjadi bomerang bagi partai pendatang baru ini, alhasil beberapa partisan oposan---melaporkan ucapannya ke Bareskrim Polri. Dengan alasan yaitu pertama, Grace (Grace Natalie) menyatakan, perda itu menimbulkan ketidakadilan. Kedua, diksriminatif, ketiga, intoleransi.
Pernyataan Grace dikatakan penista agama bukanlah hal yang baru, sadar atau tidak Resistensi isu penista agama menguat keras sejak persoalan BTP atau Ahok mengemuka ke ruang publik, resistensi terhadap isu agama sangat kental dan kentara terhadap kebencian terhadap perbedaan pandangan politik hingga kini, dan bahkan tak tanggung-tanggung ada istilah yang digulirkan oleh politisi, ada partai setan dan partai tuhan. Gejala kemarahan isu populis seolah tak berhenti dalam kasus BTP saja, bahkan ketegangan politik terus berlanjut hingga saat ini, perdebatan politik seolah minim visi, ide, dan bahkan gagasan.
Seolah hal apapun beradu dalam satu bak, penuh dengan analisa kebencian atau polarisasi isu obral keagamaan. Bahkan sekarang, tak tanggung-tanggung isu apapun akan ditarik kedalam satu perspektif utama yaitu komoditas populis, entah persoalan agama, ekonomi, hukum, poitik, budaya, dan atau apapun. Seakan kita tak pernah lelah susahnya founding fathers mendirikan negara ini, mereka berdebat untuk menghasillkan NKRI ini, akan amat lama energi kita terkuras habis hanya berdebat persoalan ideologi, sudah cukup founding father melewatinya dengan banyak pertumpahan di sana sini.
Kembali kepada Pernyataan Grace, sebetulnya bukanlah barang baru, sudah sejak lama digulirkan oleh beberapa politisi, ahli maupun pengamat. Karena sejatinya statemen yang dikeluarkan merupakan buah dari residu persoalan bangsa terkait maraknya diskisrminasi atas dasar apapun---yang memang tak kunjung mendapat keadilan hingga kini, tetapi hanya menjadi barang dagangan/gorengan politisi. Dihembuskan ke publik seolah terjadi perdebatan benturan penafsiran agama, padahal persoalan substansi diskrminasi yang tak kunjung henti digerogoti politisi.
Perdebatan mengemuka bukan saja persoalan substansi dari statemen tetapi lebih sering ditarik kedalam isu resistensi pandangan politik, sampai kapanpun persoalan ini tak kunjung mendapat perhatian besar manakala para politisi sibuk akan urusan cara berganti baju, bukan cara membuat baju itu untuk apa dan siapa.
Sebetulnya gorengan politik isu toleransi dan perda diskriminatif pernah mencuat seksis pada tahun 2016, saat itu Kemendagri masih memiliki kewenangan melakukan pembatalan Perda lewat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebanyak 3.142 perda dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, yang mengemuka ke publik adalah kemendagri membatalkan perda bernuansa syariah, faktanya adalah Kemendagri hanya membatalkan perda yg berkaitan dngan eksistensi kewenangan zonasi ekonomi, tak satupun yang dibatalkan yang berbau diskriminatif. Antara kebijakan diskriminatif dan perda syariah seolah menjadi barang dagangan politik, toh perda yang dibatalkan tetap saja bukan dilihat dari segi pandang diskriminatif tetapi yang berkaitan dengan investasi, retribusi, pelayanan dan masalah perizininan saja.
Residu Diskriminasi dan Statement yang Kontra-Produktif
Jadi Jika dibaca ulang bahwa pernyataannya mengandung 2 (dua) unsur, unsur utama yaitu persoalan komitmen politik terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. Unsur fakultatif statemen, yaitu PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa. Jadi dicermati secara utuh, sebetulnya 2 (dua) unsur ini saling berkaitan dengan suatu pristiwa dan atau preseden mengenai persoalan bangsa sebelumnya, terutama berkaitan dengan diskrminasi terhadap salah satu golongan. Namun memang sangat disayangkan cuplikan statemen yang mengandung makna multitafsir dan ganda tersebut bukan menjadi diskursus ilmiah berbasis data tetapi lebih berujung pada persoalan yuridis-politis.