Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Daerobi

Ga Neko-neko, sederhana saja, mencoba jadi pembaca yg cinta kesederhanaan

Distraksi Politik Polri Berhadapan KPK

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1422028234658195698

[caption id="attachment_392923" align="aligncenter" width="300" caption="Dok Pribadi"][/caption]

Rentetan perseteruan legitimasi antara KPK dan Kepolisian kian memanas, bahkan berujung pada pengujian eksistensi kewenangan dua lembaga ini. Perhelatan semua ini mirip dengan sebuah cerita romansa “kisah lama terulang kembali”. Ya, siapa yang tak kenal dengan perseteruan antara Cicak Vs Buaya kala pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perseteruan pertama tahun 2009 terkait penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri, yang saat itu Komjen Susno Duadji, puncaknya Bareskrim Mabes Polri menahan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.  Tidak hanya disitu, perseteruan kedua pun berlanjut pada tahun 2012 saat pengusutan kasus korupsi simulator sim yang menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Polri yaitu Irjen Djoko Susilo, saat itun pula terjadi pergesekan antara KPK dengan anggota Brigadir, yang mengepung Gedung KPK. Kini kisah itu terulang kembali.

Berawal dari kisruh pemilihan calon tunggal Kapolri Budi Gunawan yang diajukan oleh presiden, saat uji fit and proper test berlangsung tepat pada tanggal 13 Januari 2015, KPK menetapkan status tersangka pada Komjen Budi Gunawan dalam kasus rekening gendut. BG disangka memiliki rekening gendut ketika menduduki kepala Biro Pembinaan Karir. Perseteruan KPK dan Kepolisian tak hanya disitu, meski telah berstats sebagai tersangka, pemilihan BG sebagai kapolri tetap berlanjut dan pada tanggal 14 Januari 2015 Komisi III DPR menggelar rapat pleno, yang hasilnya secara aklamasi sepakat mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Lebih jelasnya rentetan distraksi perseteruan KPK VS Kepolisian yang dirangkum dari detic.com:

1422028345713322870

Jika melihat distraksi perseteruan di atas, maka akan banyak timbul pertanyaan besar. Salah satunya, Mengapa perseteruan dua lembaga ini terulang lagi?  Tak salah jika beberapa pengamat mengatakan lagitimasi Polri sudah bergeser dalam penindakannya, tak lain adalah distraksi politis yang digunakan saat ini. Distraksi politik memang terlihat bergerak bukan saja dari partai politik, tapi sudah menjalar kepada institusi, yang konon tidak memiliki keberpihakan. Argumen pun bergerak lebih dari sekedar fakta, bahwa orang-orang yang memiliki opini berbeda sehingga berhembus pada kebenaran relatif. Atraksi legitimasi dua lembaga kemudian dipertontonkan kepada publik, tak lain agar kekuasaan ataupun legitimasi (bargain of legitimate) kedua lembaga ini menjadi semakin kokoh dimata publik. KPK dengan legitimasinya sebagai pemangsa korupsi berhadapan keras dengan Institusi kepolisian. Bukannya saling menjaga diri dari musuh  sebenarnya (Korupsi), malah mencari-cari kartu truf demi melemahkan institusi.

Ada yang unik dari perseteruan KPK dan Kepolisian, tak lain membuka kartu lama dengan alasan mempunyai bukti baru (nouvum), memang aneh. Disaat kondisi sedang memanas, kepolisian dengan gagahnya ingin membawa Bambang Widjojanto ke ranah hukum demi terkuaknya sengketa Pilkada Kotawaringin 2010. Dua bukti yang cukup menjadi pertarungan perebutan bergain institusi untuk menarik simpati publik. Publik tidak lagi sekedar tahu dari perhelatan panas pemilihan Kapolri, yang berujung pembrangusan kekuatan KPK.

Pembawaan opini dari dua alat bukti kepolisian dalam kasus sengketa pilkada ini, menjadi tanda tanya besar? Siapa yang sebetulnya dirugikan pada sengketa Pilkada Kotawaringin 2010? Publik atau kepolisian? Nampaknya sangat jelas, mencari-cari kartu truf untuk mengokohkan kepolisian semakin terlihat jelas, lihat saja ketika konfirmasi dari Ujang Iskandar (Bupati Kotawaringin), saat Bambang Widjojanto menjadi pengacaranya, kasus saksi palsu pun sudah dicabut oleh pelapor kala itu.

Memainkan peran dan distraksi politik oleh kepolisian secara tidak langsung akan mencoreng nama institusi, hal itu pula menjadi keraguan tersendiri bagi publik bahwa apakah Polri sudah terlibat jelas secara politik praktis ataukah tidak. Hinggap di benak pikiran saya, apakah memang salah jika pemilihan serta pertanggungjawabannya langsung dari presiden—yang syarat tersangkut politik praksis. Ataukah institusi ini memang impunitas terhadap kasus yang menerpanya, sehingga apapun yang terjadi atas nama korps jalan distraksi politik pun menjadi pilihan tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline