Melihat sendalmu di teras rumah orangtuaku. Membuatku senang sekali. Pertanda kau berkunjung kembali ke rumah orang yang membesarkanku. Ke rumah, yang dulu kuajak kau untuk ikut denganku. Membuka diri saling bercerita. Malam itu ibuku asyik mengaji dengan Al quran di pangkuannya. Sedang ayahku masih dalam perjalanan pulang.
Assalamualaikum,
Ibuku tersenyum membukakan pintu, tak selang berapa lama adzan isya berkumandang. Kutinggal kau di ruang tamu sejenak. Setelah sholat aku kembali menemuimu. Menemuimu setelah bercerita kepada tuhan bahwa aku merasa bingung dengan perasaan yang kurasakan ketika dekat denganmu. Namun ternyata Tuhan menjawabku lewat ibuku yang tertawa lepas bersamamu. Kata ibuku kau perempuan yang ramah dan selalu gembira.
Semenjak saat itu,
Kau yang selama ini mungkin selalu hadir di tengah-tengah tulisanku. Memang tuhan takdirkan menjadi milikku. 'Pernah', ya pernah, kata yang mewakili 'sudah' namun tetap menjadi 'masih'.
Mungkin ini adalah sepotong kisah dari sebutir debu di ujung mahkota bunga yang membuat udara merasa kesepian.
Membuat udara ikhlas telah mengantarkanmu ke ujung nirwana itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H