Lihat ke Halaman Asli

Kalau Saja Banyak Edi

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1294273865363464760

Tulisan ini saya buat ketika saya dan teman meneruskan penelitian tentang learning organization disalah satu universitas di Malang. Ini terjadi ketika saya dan teman menyusuri jalan MT Haryono menuju pemondokan selama di Malang. Saat melewati penjual martabak dan terang bulan, saya berhenti dan teman saya mengikuti. Saya berkata kepada pemuda penjual martabak dan terang bulan tersebut "mas saya pesan terang bulan yang paling enak (saya bercanda dan tertawa) nanti saya kesini lagi, saya mau ke swalayan itu sebentar ya (sambil menunjuk swalayan yang ada sekitar 15 meter dari tempat pemuda penjual martabak tadi)". Pemuda tadi hanya mengangguk sambil tersenyum. Selesai berbelanja kebutuhan bersama teman saya, saya dan teman kembali lagi ke pemuda tadi. Antrian pembeli yang tadi ramai sudah mulai mencair dan satu-persatu pergi meninggalkan tempat. Kamipun duduk sambil menunggu karena memang pesanan kami belum jadi. Pemuda ini rupanya tidak mengambil pembantu untuk memenuhi pesanan pembeli, semua dikerjakannya sendiri. Saya mengamati, dia sangat cekatan dan betul-betul menguasai pekerjaannya. Keisengan saya muncul, saya berdiri dan bertanya langsung "mas dulu pernah kerja dengan "X" (saya menyebutkan salah satu penjual martabak dan terang bulan yang difranchisekan)," tembak saya. Edi, demikianlah nama pemuda tersebut dan berasal dari salah satu kabupaten di Jawa Timur (Jombang). "Kok tahu mas," jawabnya sambil nyengir. "Saya lihat dari model tungkunya," jawab saya. Setahu saya selain "X" ini model tungku untuk memasak terang bulan penjual-penjual terang bulan sebelumnya tidak seperti ini (saya langsung menunjuk model tungku dan proses pengapiannya). Si Edi ini hanya tersenyum dan membenarkan. Edi melanjutkan dengan cerita, "dulu mas, saya dan orang-orang di desa saya itu banyak ikut "X" ini, saya lantas keluar dan mencoba berusaha sendiri, belajar mandirilah mas". Saya mengangguk sambil memperhatikan Edi terus menyelesaikan pesanan kami. "Itu kacang kamu bikin sendiri atau beli," saya menunjuk toples kacang ketika Edi menaburi pesanan kami dengan kacang yang sudah ditumbuk tetapi masih dalam butiran kasar bentuknya. "Rata-rata sampai berapa loyang terjual dalam seharinya mas Edi," tanya saya lagi. "Yah sekitar 20 an mas, lumayanlah," katanya. Saya memang tidak bertanya berapa martabak yang dapat dia jual rata-rata dalam seharinya. Dengan rata-rata harga jual terang bulan 10 ribu saja misalnya (walaupun harga yang kami pesan hampir dua kali lipat), dan jam buka mulai jam 5 sore sampai jam 10 malam Edi ini telah mengantongi pendapatan kotor 6 juta an bila selama 30 hari berjualan, bila 25 hari kerja 5 juta an. Siapa yang mau memberi uang segitu dalam satu bulan? Ini belum dari hasil penjualan martabaknya yang tidak saya tanyakan. Edi sendiri ternyata kos dengan biaya 300 ribu sebulan. Pembaca bisa menghitung sendiri kan berapa pendapatan bersih Edi. Semangat Edi inilah yang patut diacungi jempol dan harus mendapatkan apresiasi yang tinggi. Cara Edi dengan magang untuk menimba ilmu dan kemudian membuka usaha sendiri ini sah-sah saja. Para pelaku usaha yang sering memberikan presentasi selalu menggaungkan amati (magang), tiru dan modifikasi dengan istilah ATM. Ah..kalau saja Indonesia ini penuh dengan pemuda-pemuda seperti Edi ini... Catatan saya juga memberikan apresiasi kepada Edi sebelum berpamitan dia memberi brand  Aishiteru pada dagangannya. Teman saya sempat bertanya "kenapa kok Aishiteru mas?". Dijawab Edi "kan lagi ngetrend mas". "Kalau sudah tidak ngetrend gimana?" timpal teman saya lagi...."ya ganti lagi, " jawabnya sembari ngakak...Ah ada-ada saja kamu Ed.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline