Lihat ke Halaman Asli

Nak...Muliakan Ibumu

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Keinginan saya menulis kali ini didasari pengalaman pribadi ketika menunggui istri dalam masa-masa sulit ketika proses melahirkan. Sungguh memang benar, begitu berat perjuangan seorang ibu itu, antara hidup dan mati. Merintih, menangis, sakit... itulah yang tergambar ketika berada disamping istri pada saat-saat kritis itu.

Tiga kali mendampingi istri melahirkan sungguh sebuah pengalaman berharga bagi lelaki yang ingin turut merasakan perjuangan istrinya ketika bertarung dan berjuang melahirkan sang buah hati. Anak pertama, dimana masih belum memiliki pengalaman, kepanikan biasanya menghantui pasangan baru dalam proses menanti kelahiran jabang bayi. Pengalaman saya setelah menunggu selama tiga hari tiga malam itu terekam jelas dikepala, sampai saya kena 'mag', kumat lagi. Cemas, panik dalam masa penantian membuat saya tidak bisa dan lupa akan makan. Sampai-sampai saya keluar dari ruang bersalin dan bertanya melalui handphone ke seorang teman yang dokter. Begitu selesai menelepon saya mendengar suara jeritan bayi, Alhamdulillah...bahagia walau tak sempat berada disisi istri.

Pengalaman kedua, sama panik dan cemas walau tidak sepanik dan secemas anak pertama. Hanya saja, persalinan kedua ini adalah persalinan yang saya bilang dipaksakan karena sudah melewati batas
(post date) tanggal usia kehamilan dan dokter tidak berani mengambil resiko maka jadilah istri saya diinduksi. Menurut istri saya sakitnya minta ampun mulai perut sampai 'boyok'. Enam jam diinduksi membuat saya kasihan dan cemas melihat kondisi istri, apalagi pada saat bayi di dalam perut kontraksi saya selalu menyediakan tangan saya untuk dijadikan 'bahan' remasan istri karena menahan sakit. Bidan yang menunggui sempat bertanya pada saya "Pak mau menunggui proses persalinan?". Saya dengan mantap menjawab "Iya". "Resikonya cuma dua lo Pak, kalau tidak impoten ya tambah sayang sama istri nantinya". Saya menjawabnya dengan senyum, dalam hati saya berujar "ora urus..bah" (nggak peduli...biarin. Persalinan kedua ini merupakan pengalaman besar dalam hidup saya dimana saya juga ikut membantu persalinan istri dengan memegangi pahanya yang sudah gemetar karena kelelahan, kasihan...sekali. Saya hanya membayangkan bagaimana ya...kalau para suami yang istrinya sedang hamil tua harus bertugas di luar kota atau ke luar daerah ah.... Persalinan kedua ini juga menjadi hikmah dari bahan bacaan yang selama ini sudah pernah dibaca. Bagaimana air ketuban pecah, kepala bayi menyembul keluar, proses mengeluarkan ari-ari yang katanya saudara kembar bayi oh..sungguh sebuah kebesaran Tuhan. Walaupun begitu persalinan kedua ini masih belum membuat pengalaman itu betul-betul menggores hati saya.

Tidak kapok saya, maka ketika istri saya hamil ketiga, sayapun mengatur jadual kegiatan saya agar tidak jauh-jauh dari istri, hampir semuanya saya kesampingkan. Pada saat proses persalinan dengan induksi lagi karena 'bukaan' tidak bertambah saya jadi teringat bagaimana istri saya dulu begitu kesakitan pada peralinan kedua membuat saya menghibur istri dengan memberikan motivasi yang kuat dalam dirinya 'bahwa kamu bisa'.

Waktu menunjukkan pukul 2 siang ketika istri saya diinduksi. Sebelumnya istri saya sudah juga diberi tambahan cairan melalui infus katanya apa itu neuro sanbe ? Saya tidak bertanya detil tetapi memang kontraksi tidak kuat dan hanya berselang setiap tujuh menit dan terus melemah. Ah istriku akan diinduksi lagi. Saya menguatkan hatinya dengan kata-kata "Pasrahkan saja kepada yang Kuasa banyaklah beristighfar dan bersholawat ma". Istri saya mengangguk dan meminta saya berada didekatnya. Saya otomatis memegangi tangannya karena teringat bagaimana dulu persalinan kedua. Selang 15 menit, setelah cairan itu menetes tetes demi tetes yang diatur kecepatannya secara elektris istri saya mulai merintih. Seiring waktu kontraksi dalam rahimnya semakin kuat dan rintihannya semakin menjadi saya hanya berdoa dan membesarkan hatinya. Dalam hati saya beroda "Ya Allah berikanlah kekuatan untuk istriku". Ah..sayapun sempat tak tahan melihatnya tetapi saya tetap bertahan dan selalu menguatkannya dengan doa dan sholawat. Akhirnya waktu yang dinanti-nanti tiba...ketika saya melihat kepala bayi mulai menyembul dan selesai berotasi diluar, bidan membantunya menarik perlahan dan "oek..oek..oek", teriakan tangis bayi itu bersamaan dengan teriakan takbir kerasku "Allahu Akbar" pada pukul tiga lebih duapuluh menit. Saya tidak sanggup menahan airmata haru yang mengalir melihat perjuangan istri yang sempat menangis, bahagia karena bayi lahir dengan selamat dan seperti harapan kami, laki-laki (kedua kakaknya perempuan). Saya sempat termenung lamaaa... di ruang persalinan dan akhirnya keluar setelah mengazani bayi. Saya sempat mendengar obrolan para perawat yang turut membantu "Sudah bu habis ini disteril ya?". Dalam hati saya bergumam...hmmm libido saya masih normal kawan hehehhe

Ketika petang, kedua kakaknya datang menjenguk adiknya yang masih bayi, saya sempat memanggil anak-anak saya ini dan mengatakn pada mereka dengan perlahan "Nak, muliakanlah mamamu, hormati dia dan bergaullah dengan baik padanya, jangan sakiti hatinya karena......hari ini ayah telah menyaksikan begitu berat perjuangan mamamu dalam melahirkan adikmu itu. Betul apa yang disampaikan Nabimu nak, beliau menyebut ibu, ibu, ibu baru kemudian ayah dalam sebuah haditsnya. Faham nak?". Mereka hanya mengangguk diam, saya peluk mereka. Saya jadi teringat ibu yang jauh diseberang sana, teringat ketika dulu sering membantah perkataannya tetapi sedikit terhibur juga ketika teringat setiap selesai isya' saya selalu memijiti kakinya sampai beliau tertidur. "Maafkan aku mak", bisikku dalam hati.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline