Hampir dua bulan terakhir kontestasi pilgub DKI Jakarta yang masih dalam tahapan pendaftaran Bakal Calon menyedot perhatian khayalak ramai. Mulai dari masyarakat sebagai pemilih sampai kepada partai politik sebagai penyedia dan pengkader para pemimpin.
Iya, kita paham betul bahwa sebagai Negara demokrasi maka sudah barang tentu parpol memegang peranan vital sebagai motor penggerak sistem tersebut. Termasuk di dalamnya menjadi wadah dalam mencetak calon-calon pemimpin yang akan mengisi setiap pos yang menjadi tanda tegaknya demokrasi.
Lantas apa yang terjadi sekarang di bursa Pilgub DKI?
Saya mencoba menganalisis sikap berbagai partai politik yang seolah “bingung tanpa kata” ketika ditanya tentang siapa yang akan dicalonkan menuju DKI 1. Sebagai contoh, sempat mengerucut adalah pasangan Sandiaga Uno dengan Mardani Ali Sera yang didukung oleh Gerindra dan PKS namun pasangan ini mulai goyah ketika elektabilitas Yusril Ihza Mahendra yang kemudian mendapat sinyal kuat dari Muhammadiyah dan PBNU, yang pada akhirnya PKS mungkin akan legowo untuk merelakan kadernya dan diganti dengan Yusril. Bahkan semakin kuat berhembus, Yusril akan menjadi Cagub dan Sandi Uno akan menjadi Cawagub.
Saya ingin kita skip dulu pembahasan kemungkinan pasangan calon ini. Kita mengamati gerak-gerik PDIP yang terlihat mulai tidak percaya diri. Terlihat dari rekam jejak PDIP yang selalu “gagah” mencalonkan kadernya sendiri, sekarang mulai mengambil posisi aman. Maka PDIP disinyalir kuat untuk mendukung pasangan petahana, yaitu Ahok-Djarot. Menurut hemat saya, meskipun Djarot adalah kader PDIP, ini adalah sebuah bentuk ketidak percayaan PDIP untuk mencalonkan kadernya sebagai CAGUB. Padahal berbagai aspirasi dari internal PDIP dalam bentuk aksi terus digalakkan untuk menolak Ahok.
Selanjutnya kita ingin melihat sikap partai yang lain. Mereka seperti “wait and see” saja. Terlihat seperti sebuah partai yang cermat melihat aspirasi masyarakat, namun sesungguhnya bingung menentukan siapa yang akan menguntungkan partai mereka.
***
Fenomena Gerindra dan PKS yang akan mengusung Yusril dan Sandi, kemudian Ahok-Djarot yang akan didukung Golkar, Nasdem, Hanura dan tentunya PDIP serta sikap beberapa parpol yang masih belum tegas. Maka kita bisa mencermati nama-nama yang ada, hanya sebagian kecil nama tersebut muncul dari proses pengkaderan. Sebut saja Djarot yang memang kader PDIP, Sandiaga Uno merupakan kader baru Gerindra, Yusril yang tidak terafiliasi ke salah satu partai yang bisa mencalonkan nama di DKI serta Ahok yang juga sama dengan Yusril.
Lantas mana calon yang dari partai lain? Mana pengkaderan yang mereka lakukan? Berapa anggaran yang mereka habiskan yang di dalamnya ada program pengkaderan? Apakah parpol lebih senang mengambil figur yang sudah jadi sehingga mengabaikan pengkaderan yang pernah mereka lakukan? Apakah kader yang dari awal mengikuti pengkaderan tidak tidak ada gunanya?
Sejumlah pertanyaan ini masih sering saya “camkan” sebagai seorang yang mungkin tidak terlalu paham politik, tetapi saya mencoba untuk menjadi bagian dari proses demokrasi bangsa ini. Meskipun jawaban sementara yang saya dapatkan adalah, ini soal elektabilitas pribadi yang akan dicalonkan. Bagaimanapun mumpuni seorang kader yang pernah ditempa selama belasan tahun, tetapi tidak setenar “Jessica: kasus kopi sianida” maka jangan harap kader tersebut akan dicalonkan.
Apakah parpol kita akan tetap seperti ini, menghabiskan banyak anggaran untuk menyiapkan pemimpin. Ketika waktunya pemimpin itu naik panggung, mereka akan disingkirkan karena alasan tidak memiliki elektabilitas yang tinggi. Sungguh merana nasib mereka ^-^.