Seorang teman mengirim saya sebuah pesan di media perpesanan. Katanya, ia masuk daftar 5000 ilmuan top di Indonesia, versi sebuah lembaga pengindeks. Di kampusnya, Ia nangkring di urutan kedua, dari lima orang yang masuk di daftar tersebut. Saya jawab, " Untuk rame-ramean saja, jangan dibaperin". Saya menduga, teman saya kecewa dengan jawaban tersebut. Karena sebelumnya, berkas 5000 ilmuan teratas di Indonesia tersebut, sudah beredar di grup-grup media perpesanan. Dan saya sudah membaca, melihat lebih dalam tentang metode pengambilan datanya.
Mengapa hasil riset lembaga tersebut tidak bisa "diimani" sepenuhnya? Jawabanya sederhana, data utama perangkingan tersebut bersumber dari Google Scholar (GS). Ada apa dengan google scholar? Google scholar merupakan sebuah pengindeks yang mampu membaca, mengutip, dan mengindeks secara otomatis, menggunakan sistem, katakanlah seperti robot. GS akan membaca beberapa istilah dan kata kunci tertentu, kemudian "memutuskan" untuk mengeksekusinya.
Masalahnya adalah berapa banyak kata kunci dan nama penulis yang kebetulan sama atau hampir sama. Hal ini diperparah dengan sistem penyesuaian akun yang bisa dilakukan secara swalayan, setiap pemilik akun bebas untuk menarik artikel-artikel ke dalam akunnya. Atau jika mengikuti pengaturan secara otomatis, akun akan dibantu oleh mesin google untuk menambahkan artikel-artikel yang penulisnya memiliki nama yang sama atau mirip. Yang terjadi, banyak akun GS yang di dalamnya adalah bukan dari karya pemilik akun yang bersangkutan. Sampai sini, bisa disimpulkan bahwa validitas authoriti atau kepenulisan di GS masih sangat perlu validasi.
Nah, ketika data mentah yang digunakan oleh lembaga perangkingan tersebut menggunakan GS, maka validitas data tersebut juga mengalami persoalan. Sehingga akan kita dapati, orang-orang yang karyanya dipertanyakan, bisa masuk menjadi 5000 ilmuan teratas di indonesia. Dan berdasarkan penelusuran, mayoritas bukan karena faktor kesengajaan, namun karena minimnya literasi tentang scholar ini. Sebagai contoh, di kampus saya, ada empat orang yang masuk daftar 5000 ilmuan hebat tersebut. Dua dari empat orang tersebut adalah orang yang "tidak diketahui". Dia bukan merupakan dosen atau tenaga pendidik. Setelah saya telusuri, dua orang tersebut adalah nama antah berantah, yang hampir seluruh karya di akun GS adalah karya orang lain, dengan dokumen dan sitasi yang tinggi. Di kampus yang lain, seorang pegawai bisa masuk 3 besar di kampusnya, mengalahkan para guru besar. Sama, setelah saya cek, dokumen di akunya adalah milik orang lain.
Ironisnya, selebrasi hasil perangkingan tersebut banyak dilakukan oleh banyak Perguruan Tinggi. Jika kita ketik "5000 AD scientist" di mesin pencarian, maka akan muncul berbagai berita tentang selebrasi perguruan tinggi, merespon hasil perangkingan tersebut. Belum lagi berbagai flyer dan meme yang tersebar di berbagai group-group media pertemanan dan media sosial. Amplifikasi prestasi tentu menjadi "kebanggaan" bagi perguruan tinggi yang layak untuk diviralkan. Namun jika kita memahami alur riset perangkingan tersebut, maka tentu kita akan berpikir ulang. Fenomena ini setidaknya menggambarkan bahwa di era digitalisasi saat ini, kita perlu melek literasi terhadap berbagai hasil riset, apalagi jika hasil riset tersebut diterbitkan secara manual, tidak melalui media publikasi ilmiah yang relevan.
Sitasi dan logika "viral"
Menilai dan mengklasifikasikan prestasi berdasarkan indikator tertentu, tentu hal yang sah dan bisa dibenarkan secara metodologis. Seperti menilai kinerja seorang ilmuan berdasarkan indikator sitasi, tentu pada taraf tertentu bisa dibenarkan. Namun, ketika data yang digunakan validitasnya dipertanyakan, tentu hasil dari riset tersebut juga akan menjadi tidak valid. Sitasi sejauh ini memang merupakan indikator yang efektif untuk menilai recognisi atau pengakuan terhadap karya seseorang.
Namun data tentang sitasi dalam hal ini perlu di dasarkan pada data yang valid, yang bisa mencegah dari berbagai kemungkinan "error" dan "bug". Meminjam istilah ilmu logika, disebut vaid jika setidaknya memenuhi dua kriteria, jami' dan mani'. Jami' berarti data yang ada mampu untuk melingkupi semua hal yang masuk kriteria. Sebaliknya, mani' berati menolak semua hal yang seharusnya tidak masuk kriteria. Dalam kasus GS, disebut jami' ketika sebuah akun mampu memasukkan semua dokumen sang pemilik akun. Sebaliknya, semua dokumen yang bukan merupakan milik sang penulis, harus dikeluarkan, ini disebut mani'. Dan sejauh ini, dua kriteria tersebut tidak bisa diimplimentasikan pada kasus akun penulis, jurnal, maupun perguruan tinggi di GS.
Sitasi, hingga saat ini masih menjadi parameter untuk menggukur "keviralan" seorang akademisi dalam karya ilmiah. Ketika orang mensitasi, setidaknya dia diasumsikan telah membaca karya orang yang disitasi tersebut. Dan ini tentu menjadi nilai tambah bagi seorang ilmuan atau akademisi, ketika karyanya dibaca, diulas dan ditelaah oleh orang lain. Lalu, apakah sitasi bisa dimanipulasi? Jawabannya tentu saja bisa. Dan kasus manupulasi sitasi, sudah banyak terjadi dalam jagat publikasi kita. Pertanyaannya, apa parameter selain sitasi untuk menilai pengakuan dan kepakaran seseorang?
Menilai prestasi seorang ilmuan melalu karya yang bermanfaat dan dirasikan langsung oleh masyarakat dan dunia, tentu akan lebih efektif dan nyata. Dan itu saya rasa juga telah dilakukan oleh berbagai lembaga, yang mendasarkan pengakuan dan penghargaan pada karya nyata seorang ilmuan. Pemberian penghargaan, hibah, nobel dan sejenisnya selama ini tentu sudah banyak dilakukan kepada para ilmuan dan akademisi atas karya yang dihasilkan.
Namun ketika paradigma yang digunakan adalah publikasi, menyampaikan karya seseorang dihadapan halayak dan dunia keilmuan, maka sitasi masih menjadi parameter yang efektif. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kita melakukan edukasi dan literasi yang benar dalam hal sitasi. Sehingga nantinya, jika ada lembaga perangkingan yang menggunakan basis datanya dari sitasi, maka akan relevan dan bisa dipertanggung jawabkan.