Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Mustaqim

Peminat kajian sosial, politik, agama

Intoleransi, Islamphobia dan Beragama yang Wajar

Diperbarui: 25 Juni 2021   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Detik

Belasan nisan makam konon dirusak oleh anak-anak di bawah umur. Anak-anak ini merupakan murid dari sebuah lembaga belajar agama yang disebut kuttab. Meskipun pengelola kuttab tersebut mengelak mengajarkan "ide" pengrusakan tersebut, namun kesimpulan awal: lembaga pendidikan agama tersebut diduga mengajarkan intoleransi kepada anak didiknya.

Di sudut lain, jagad media sosial sempat ramai dengan istilah "islamphobia". Trending ini berawal atas cuitan seorang penggiat medsos atas fenomena film Nussa-Rara yang tayang dalam sebuah ajang Perfilman di Korea Selatan. Pasalnya, pakaian sang tokoh kartun tersebut tidak mencerminkan budaya pakaian Indonesia. Ia menyebut pakaian tersebut adalah pakaian "Taliban". Taliban di sini jelas bukan pengejaan dari dua kata tali dan ban, yang juga sering menjadi meme di Medsos. Mengingat terminologi Taliba, akhir-akhir ini merujuk pada karakter Islam "radikal", atau dengan terminologi yang lebih lunak, kelompok intoleran dalam beragama. Ciutan ini akhirnya berbalas dengan pelabelan Islamphobia dari seorang tokoh, sebagai respon dari penyimpulan "taliban" tersebut.

Awalnya, saya mengira bahwa kebencian terhadap komunitas lain itu hanya hiruk pikuk di dunia maya. Maksudnya, setidaknya pengalaman saya ketika melihat pertentangan berbalut atribut agama, biasanya hanya ramai di media sosial. Dan jika kita telusuri agak mendalam lagi, paling hanya residu polarisasi pasca Pilpres. Namun dengan adanya realitas pengrusakan riil simbol agama ini, hipotesis saya sedikitnya runtuh. Kebencian terhadap "agama" tertentu adalah nyata. Parahnya, hal ini diajarkan pada anak-anak dan generasi muda.

Hal ini sebenarnya berbanding lurus dengan fenomena di seberangnya: islamophobi. Phobia terhadap islam, atau lebih tepatnya phobia terhadap ummat islam tertentu, merupakan fenomena respons terhadap gejala yang sejak beberapa dekade lalu ini menguat. Selain karena peran media, realitas komunitas ummat Islam 'tertentu" khususnya fenomena Islam di Timur Tengah, membangun premis-premis singkat bahwa Islam menampilkan simbol-simbol kekerasan. Terlepas dari tesis Fukuyama tentang "islam dan kapitalisme", atau simpulan Huntington tentang benturan peradaban "Barat-Islam", yang jelas kemunculan Islam dalam varian-varian kekerasan, meskipun secara sporadis adalah nyata adanya.

Di Indonesia, pasca bom Bali, berbagai kekerasan berbalut simbol agama, baik itu melalui penyerangan maupun bom-bom yang meledakkan adalah stempel akan islamophobi ini. Fenomena terorisme misalnya, yang jika kita ikuti narasinya, mereka kebanyakan merupakan para penganut agama dengan simbol-simbol Islam ala Timur Tengah tersebut. Inilah yang barangkali melatar belakangi stereotipe 'baju taliban' pada Film anak-anak Nussa Rara. Meskipun, pelabelan taliban atas dasar pakaian adalah penyimpulan yang terlalu cepat dan tidak proporsional.

Beragama secara wajar

Perilaku berlebihan dalam beragama adalah sesuatu yang tidak baik. Terlalu fanatik terhadap agama, sembari menafikan agama lain tentu bukan cara beragama yang bijak. Barangkali benar apa yang pernah disampaikan Gus Mus, terlalu cinta atau benci terhadap sesuatu seringkali menjadi sumber masalah. Cinta itu baik, namun ketika itu dilakukan secara berlebihan akan mendorong kepada cinta buta,  dan ini seringkali akan menghilangkan akal sehat. Mencintai agama tentu saja harus senantiasa melibatkan akal sehat sebagai pendampingnya. Demikian juga, benci adalah sesuatu yang wajar. Koq bisa? Lhah iya, kita oleh agama diajarkan untuk membenci sesuatu yang tidak baik. Mislanya: membenci kekufuran, membenci kejahatan, membenci hal-hal yang khabais dan sebagainya. Nah, jika kebencian itu dilakukan terlalu berlebihan, maka sama juga akan membutakan akal sehat. Dan ini tentu saja bukan cara beragama yang benar.

Maencintai agama adalah hal yang sangat dianjurkan, tapi tetap saja dalam kadar kewajaran. Karena biasanya terlalu mencintai agama akan melahirkan fanatisme berlebihan, yang hal ini akan diiringi klaim kebenaran tunggal, sehingga mengangap agama yang lain salah. Apakah tidak boleh jika berkeyakinan bahwa agama kita yang paling benar dan agama lain salah? Tentu boleh. Dan hal ini diajarkan dalam Al-qur'an. Tetapi jika pemahaman ini diiringi dengan perilaku kebencian yang berlebihan, kekerasan, pengrusakan terhadap simbol, identitas dan penganut agama lain, tentu tidak bisa dibenarkan. Bukankah Nabi pernah pasang badan terhadap seorang (kafir) dzimmy?, "Siapa yang menyakiti seorang dzimmy, itu sama saja menyakitiku".

Hidup di bumi nusantara ini adalah anugerah yang harus kita syukuri. Negeri yang damai dan demokratis ini tentu bukan "jaminan abadi", jika tidak kita lestarikan bersama. Intoleransi, kekerasan beragama, prejudise, stereotipe adalah sederet sikap dan perilaku yang bisa merusak "segel"kedamaian tersebut. Tentu kita tidak ingin seperti fenomena musim semi di timur Tengah yang telah meluluh-lantakkan kedamaian dan hidup bersama para penduduknya.

Muhamad Mustaqim, dosen IAIN Kudus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline