Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Mustaqim

Peminat kajian sosial, politik, agama

Dramaturgi Media Sosial

Diperbarui: 9 Maret 2021   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: freepik/rawpixel)

Di media sosial, orang -- tepatnya akun -- mudah sekali berkata-kata, terkadang menjadi bijak, kadang juga mencaci penuh serapah.

Melalui akun, seseorang menampakkan dirinya sebagai sosok tertentu, baik yang paling diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Dan tidak jarang, seseorang yang mempunyai lebih dari satu akun, yang bisa jadi masing-masing akun memiliki karakter atau avatar yang berbeda, bahkan saling memusuhkan diri.

Tak heran jika kemudian antar-netizen ini saling dukung, menguatkan, hujat, caci, fitnah, bahkan perang. Jika perang, maka semua wadyabala akan ikut membantu, berbagi peran dengan misi yang sama, satu komando untuk melumpuhkan musuh. Inilah barang kali model perang ala twitwar, perang di Twitter.

Di Twitter semua orang boleh mencuit, ngomong sesukanya, share berbagai link dan twit orang lain, yang terkadang tanpa konfirmasi dan tabayyun. Benar kata orang, kalau sudah bermedia sosial, yang dominan tidak lagi akal dan hati, namun jari.

Pertanyaannya, apakah di dunia nyata orang akan bijak seperti akunnya? Apakah orang yang senyatanya pemarah dan pencaci sebagaimana akun media sosialnya? Dalam hal ini, saya mempunyai pendapat sendiri. Orang dan akun adalah dua entitas yang berbeda. Akun tidak identik dengan orang. 

Menurut pengalaman, banyak fenomena "orang" berantem di media sosial, namun ketika ketemu di dunia nyata, mereka tidak sebrutal ketika bersinggungan di dunia maya. Sehingga saya memahami bahwa realitas di media sosial itu ibarat dramaturgi. 

Dalam teori dramaturgi, ada dua realitas yang terbangun, panggung depan dan panggung belakang. Ibarat sebuah drama, panggung depan menampilkan karakter sesuai dengan peran yang diberikan.

Panggung depan adalah ruang komunikasi, bagaimana pemain peran memberikan pesan dan komunikasi kepada penonton  tentang karakter peran yang dimainkan. Nah, panggung belakang adalah karakter sejati yang dimiliki yang pemain, yang kosong dari hiruk pikuk penonton dan tepuk tangan.

Saya mengasumsikan bahwa akun-akun yang ada di media sosial itu semua adalah peran panggung depan. Apa yang mereka tulis dan share di internet, tidak lain adalah karena tuntutan peran.

Segala aktivitas medsos, mulai dari buzzer terhadap afiliasinya, mencaci, menebarkan hoax adalah bagian dari permainan peran saja. Saya membayangkan, manusia-manusia dibalik layar dan jempol adalah manusia yang tidak seberingas ketika "menjelma" menjadi manusia lain pada akun-akun di internet.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline