Kementerian Agama yang merekomendasikan daftar 200 ulama yang dianggap "kompoten" menuai banyak reaksi dari masyarakat. Ide dasarnya sebenarnya ingin memangkas gejala radikalisme yang berawal dari "dakwah" para da'i yang berpotensi menguatkan radikalisme agama. Hanya saja, membatasi hanya 200 orang saja kiranya sebuah simplifikasi yang akan menggiring pada permasalahan baru.
PBNU misalnya menyoal, mengapa harus yang baik yang direkomendasikan, mengapa tidak mengeluarkan daftar hitam saja. Masalahnya di Indonesia banyak ulama yang sebenarnya sudah melakukan dakwah secara moderat. Yang dakwahnya radikal dan sering buat polemik paling hanya itu-itu saja.
Sebenarnya, hal senada juga sempat ramai pada tahun 2012. Badan nasional Penanggulangan Terorisme (BNKT) pernah mengusulkan tentang sertifikasi pemuka agama, yang juga menuai berbagai respon. Tujuaanya sederhana, memotong mata rantai radikalisme di sektor hulu, melalui ceramah dan dakwah keagamaan yang bernuansa radikal dan menimbulkan perpecahan. Sampai sini, perlukah kiranya sertifikasi pemuka agama atau mubaligh?
Secara substantif, sebenarnya usulan sertifikasi ulama ini mempunyai argumentasi yang baik. Gagasan besar dari sertifikasi ulama ini boleh jadi adalah upaya melakukan deradikalisasi doktrin agama melalui peran para pemuka agama. Melalui pemuka agama yang telah tersertifikasi inilah, diharapkan berbagai penyebaran doktrin keagamaan mampu mengantarkan pada pemahaman yang inklusif dan toleran. Namun dalam tataran praksis gagasan ini sangat sulit untuk diimplementasikan.
Ada beberapa persoalan terkait sertifikasi ulama ini. Pertama, ulama secara formal bukanlah bagian dari aparatur negara. Pemuka agama, ulama, kiayi atau apapun istilahnya adalah sosok yang dinobatkan oleh masyarakat. Di sini penyemat "gelar" tersebut adalah masyarakat, bukan pemerintah. Kiayi adalah representasi pengembangan agama yang dikonstruk oleh realitas sosial. Sehingga keberadaannya berdasar pada kebutuhan masyarakat secara langsung. Hal ini berbeda dengan guru yang secara legal-formal memiliki kaitan normatif dengan pemerintah, selain kualifikasi akademik yang disyaratkan dalam bentuk formal.
Kedua, dari segi kuantitas, sangatlah sulit mengidentifikasi ulama, dai atau muballigh yang tersebar di negeri ini. Jumlah ulama dan pemuka agama Islam di Indonesia sangatlah luar biasa jumlahnya, mengingat Indonesia merupakan negara penduduk muslim terbesar di dunia. Bila ulama ini kita batasi pada kiayi musholla, surau atau langgar misalnya, maka jumlahnya bisa jadi 5 kali lipat dengan jumlah surau atau musholla yang tersebar di seluruh nusantara. Rasionya, hampir setiap desa berpenduduk mayoritas muslim, setidaknya memiliki 10-20 musholla. Hal ini belum termasuk para ulama/kiayi yang melakukan pendidikan dan dakwah Islam di rumah masing-masing dan secara non formal.
Ketiga, sertifikasi harus perimplikasi pada pemberian hak. Kalau program sertifikasi ini kita analogikan dengan guru, maka harus ada tunjungan profesi yang diberikan kepada ulama. Hal ini bukan hanya berimplikasi pada administrasi dan keuangan negara, tetapi juga orientasi dakwah ulama. Selama ini para ulama ketika melakukan dakwah Islam, mereka menggunakan prinsip ikhlas dan pengabdian. Jutaan kiayi mushalla/langgar yang mengabdi pada dakwah Islam tidak pernah mendapatkan kompensasi. Jika sertifikasi ini diberlakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan menggeser niat dan orientasi dakwah islam.
Paradigma Beragama yang Toleran
JIka kita mencoba menengok ke belakang, gagasan sertifikasi pemuka agama ini sebenarnya memiliki relevansi historis dalam sejarah bangsa ini. Pada era kolonialisme, pemerintahan Hindia Belanda pernah memberlakukan program ordonansi guru. Ordonansi ini berupaya mengontrol peran guru agama, termasuk ulama dan kiayi dalam melakukan pendidikan agama.
Semua guru agama harus mendapatkan ijin dari pemerontah Hindia-Belanda dalam melakukan pengajaran agama. Dan oleh kalangan pesantren yang notabene bagian dari pendidiakn agama menentang keras kebijakan ini. Nahdhotul Ulama (NU) dalam sebuah fatwanya pernah menentang kebijakan ordononsi guru ini. Inilah strategi Belanda untuk melakukan hegemoni dan intervensi terhadap pendidikan agama, yang dianggap bisa mengancam kepentingannya.
Ketika era orde baru, kebijakan yang serupa juga pernah diberlakukan. Rezim Soeharto sangat represif terhadap berbagai upaya yang mengancam eksistensi pemerintahan. Berbagai kegiatan syiar keagamaan, khusunya pengajian umum harus mendapatkan surat ijin resmi dari pihak yang berwajib. Dan bagi para mubaligh harus mengantongi semacam surat ijin sebagai mubaligh, atau biasa disebut SIM (Surat Ijin Muballigh).