Ruwah, adalah nama salah satu bulan dalam penanggalan Jawa. Pada zaman Sultan Agung, ada semacam konversi penanggalan Jawa pada penanggalan Arab atau Hijriyah. Penanggalan ini mengisyaratkan adanya penyamaan tanggal dan bulan antara penanggalan Jawa dan Hijriyah. Sehingga bulan ruwah merupakan istilah Jawa dari bulan Sya'ban, meskipun pada awalnya keduanya adalah berbeda.
Bagi masyarakat Jawa--Islam, bulan ruwah ini memberi makna tersendiri dalam pelaksanaan keberagamaan. Konon nama ruwah merupakan serapan dari kata arwah, yang merupakan bentuk jamak dari kata ruh. Disebut ruwah, karena pada bulan ini terdapat ritual "kirim arwah", sebuah tradisi mendoakan orang (arwah) yang sudah meninggal. Tradisi ruwahan ini, tidak lepas dari penyambutan bulan suci bagi ummat Islam, yakni bulan Ramadhan, yang dalam penanggalan Jawa disebut wulan Poso.
Dalam Islam, Ramadhan adalah bulan suci yang memiliki banyak keutamaan. Kebesaran Ramadhan harus disambut dengan cara mensucikan dan mendekatkan diri pada Allah. Dan ini tidak semata berlaku untuk orang yang masih hidup, namun juga orang yang sudah meninggal, istilahnya ahli kubur. Ahli kubur yang berada dalam alam barzah ini, "ditolong" oleh keluarganya melalui doa dan sedekah. Dan ruwahan adalah ritual mendoakan ahli kubur tersebut, sebagai spirit penghormatan terhadap arwah yang telah tiada.
Dalam tataran teknis, format dan bentuk ruwahan ini sangat variatif. Di beberapa desa di Kudus dan Demak misalnya, ritual ruwahan diadakan dengan melakukan selametan kirim arwah.
Secara kolektif, jamiyah-jamiyah keagamaan biasanya melakukan khataman dalam konsep ruwahan ini. Khataman dilakukan karena rutinitas jamiyah akan "libur" pada bulan Ramadhan. Nah, pertemuan terakhir pra Ramadhan inilah yang biasanya dimanfaatkan sebagai ritual ruwahan. Adapun format kegiatannya secara umum adalah khataman al-Qur'an dengan disertai kiriman arwah jamak.
Puncak dari tradisi ruwahan ini adalah ritual besik kubur. Besik kubur adalah kegiatan ziarah dan membersihkan makam, yang sebelumnya didahului dengan selamatan. Di beberapa daerah, ritual ini ada yang menyebut dengan nyadran atau nyekar. Tradisi besik kubur ini dilakukan sebagai manifestasi mendoakan ahli kubur, dengan membersihkan makam dan menaburkan bunga-bunga tertentu.
Hal ini dilakukan karena pada bulan puasa, ziarah kubur yang biasanya dilakukan setiap Kamis sore atau Jum'at pagi tidak dilakukan atau libur. Ada ajaran yang mengatakan bahwa pada bulan Ramadhan, syetan dibelenggu, dosa diampuni, pintu neraka ditutup dan pintu syurga dibuka lebar. Ajaran ini yang kiranya memberi pembenaran akan "liburnya" ziarah kubur pada bulan Ramadhan.
Fenomena ruwahan, dalam hal ini adalah manifestasi dari akulturasi budaya Jawa dan Islam yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Islam Jawa saat ini masih menjadi model keberagamaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa, termasuk di daerah Pantai Utara (Pantura). Meskipun implementasi ajaran islam "murni" mulai banyak berkembang, namun tidak serta merta menghilangkan tradisi Islam Jawa yang sudah lama mengada.
Tradisi ruwahan dalam hal ini adalah titik keseimbangan antara tradisi Jawa yang bercorak Hindu-Budha dengan tradisi Islam. Salah satu ciri dari tradisi Jawa adalah kepercayaan akan adanya roh-roh yang telah tiada, dan mampu memberi manfaat-madharat bagi yang masih hidup. Oleh Islam, ini dipoles sedemikian rupa dengan nuansa islami yang juga memberikan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Inilah Islam eklektis, yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan dan budaya yang berbeda.
Secara sosial, ruwahan memberi makna komunalisme sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial antar individu. Ruwahan dalam beberapa ritual adalah ruang publik (public sphere), di mana individu-individu dipertemukan dalam satu kepentingan, yakni tradisi dan agama. Selamatan yang disertai pemberian berkat adalah nilai sosial sedekah yang menjadi semangat filantropi dalam Islam. Saling memberi dan menerima akan sangat terasa dalam tradisi ruwahan ini, meskipun dalam kadar dan frekuensi yang berbeda.
Akhirnya, tradisi ruwahan adalah sebuah kearifan lokal (local wisdom), yang bagi masyarakat tertentu memiliki makna kultural-religius yang penting. Setelah berabad-abad lamanya tradisi ini berlangsung, pola kearifan ini telah menunjukkan substansi ajaran Islam dalam membangun toleransi dan humanisme. Prinsipnya adalah melestarikan tradisi lama yang baik, dan permisif terhadap hal baru (modernitas) yang lebih baik.