Keputusan PTUN yang menolak gugatan atas pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin mengukuhkan PERPPU Ormas. Majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, tentang pencabutan status badan hukum HTI oleh Kemenkumham. Dengan demikian, keputusan pencabutan badan hukum HTI tetap berlaku, sehingga HTI dinyatakan bubar demi hukum.
Keputusan PTUN ini memberi semacam yurisprudensi bahwa Ormas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila tidak diperkenankan berdiri di Indonesia. Ideologi besar "khilafah" dalam konteks ini dianggap bertentangan dengan nilai dasar yang dianut oleh Pancasila, yakni permusyawaratan dan demokrasi. Dan pada level akar rumput, tuntutan pembubaran HTI memang menjadi bola salju, karena HTI secara ideologis membahayakan eksistensi NKRI yang menjadi platform bentuk kedaulatan negara.
Mengapa HTI tidak relevan untuk hidup dan berkembang di Indonesia? Dalam hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa argumen. Pertama, HTI bercita-cita mendirikan negara khilafah yang bersifat trans-nasional, hal ini jelas bertentangan dengan dasar dan ideologi negara kita. Sistem khilafah meniscayakan adanya politik trans-nasional, di mana negara-negara yang berada di bawah kekuasaan khilafah harus tunduk pada kekuasannya yang lintas bangsa dan negara.
Kekuasaan negara-bangsa dalam hal ini runtuh. Khilafah tidak mengakui adanya kedaulatan bangsa. Seakan menafikan bentuk negara Indonesia yang merupakan negara kesatuan berbentuk republik, di mana kekuasan secara mutlak dimiliki oleh rakyat melalui institusi negara. Jika cita-cita HTI ini tercapai, maka kedaulatan negara-bangsa Indonesia ini secara otomatis menjadi runtuh.
Kedua, sistem khilafah dalam khazanah keislaman masih menjadi polemik. Dalam sejarah peradaban Islam, tidak ada model baku tentang sistem pemerintahan. Sistem khilafah adalah satu dari sekian banyak interpretasi tentang sistem pemerintahan Islam. Sehingga secara historis tidak memiliki akar yang kuat tentang standar "khilafah" yang bisa dibangun sebagai sistem pemerintah.
HTI sepertinya memandang khilafah sebagai utopia dan nostalgia tentang abad keemasan Islam yang ditafsirkan menggunakan sistem khilafah. Sehingga HTI sebenarnya tidak memiliki basis filosofi, bentuk sistem khilafah yang akan digunakan. Mereka hanya menggunakan khilafah sebagai cita-cita pembangun semangat, tanpa memahami misi dan struktur pembangunnya. Dan ini tentu saja sifatnya spekulatif.
Ketiga, kampanye khilafah selama ini telah berpotensi menghancurkan pondasi persatuan bangsa yang telah lama dirajut. Jika kita simak propaganda HTI, banyak kritik terhadap sistem dan pemerintah yang sah dianggap kafir dan taghut, mengingat tidak berdasarkan sistem islami. "Pancasila itu taghut, Demokrasi itu kafir", begitu ujaran yang selama ini dikampanyekan.
Hal ini tentu saja menjadi preseden buruk bagi persatuan bangsa, dan berpotensi melahirkan perpecahan, mengingat delegitimasi ideologi bangsa rawan menjadi kepentingan politik. Faktanya, banyak negara yang sudah secara resmi melarang HT, seperti Rusia, Jerman, Inggris, Prancis, Spanyol serta negara Eropa lainnya. Bahkan negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki juga menolak keberadaan HT di negaranya, termasuk negara jiran kita, Malaysia.
Keempat, HTI sebenarnya adalah partai politik, bukan semata-mata gerakan dakwah. Dalam sejarahnya, Hizbut Tahrir merupakan partai "pembebas" yang berbasis politik. Awal kelahiran Hizbut Tahrir di Palestina, semata-mata sebagai partai politik yang didirikan oleh an-Nabani dengan visi menegakkan khilafah Islamiyah.
Sebagai partai politik yang lintas negara, tentu saja ini membahayakan keberlangsungan sistem kenegaraan dan demokrasi. Partai politik sebagai pilar demokrasi harus senantiasa sejalan dengan ruh demokrasi, bukan malah berupaya meruntuhkannya.
Bangsa kita tidak pernah memusuhi orang-orang dan para anggota HTI. Yang kita tidak sepakati adalah ajaran dan sistem yang diusung, yang berpotensi meruntuhkan ideologi negara yang sudah dibangun oleh para founding father bangsa ini.