Seperti biasa, perayaan kelulusan sekolah tidak afdhol bila tidak dirayakan dengan konvoi dan corat-coret baju. Fenomena ini tampaknya sudah menjadi badian tradisi tahunan bagi pelajar, untuk meluangkan segala kegembiraan dan selebrasi mereka melalu corat-coret.
Tradisi corat-coret seragam yang hampir dilakukan di semua daerah di negeri ini menjadi budaya populer yang memiliki makna tersendiri dikalangan siswa. Sebenarnya aksi corat-coret seragam bukan hanya persoalan "eman" terhadap seragam yang tidak bisa digunakan lagi, namun lebih sebagai cerminan karakter generasi muda kita. Ada beberapa karakter yang bisa kita baca dari budaya corat-coret ini.
Pertama, sikap cepat merasa puas. Selebrasi terhadap kelulusan merupakan hal yang wajar. Namun bila itu harus dilakukan dengan beberapa aksi dan kegiatan yang tidak manfaat, tampaknya lebih sebagai sesuatu yang berlebihan. Euforia corat-coret dalam hal ini adalah cerminan rasa terlalu puas, atas prestasi menyelesaikan jenjang pendidikan menengah. Jika ini dilakukan 30 tahun yang lalu, mungkin agak releven, mengingat pada saat ini SMA merupakan jenjang pendidikan yang "lumayan" tinggi.
Namun dalam konteks kekinian, jenjang SMA merupakan jenjang yang relatif rendah dan biasa, karena saat ini sudah banyak orang yang melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi. Sehingga aksi corat-coret seragam dalam hal ini adalah gejala terlalu berpuas diri dalam pendidikan. Dan hal itu kiranya bukan sikap yang baik, kaitannya dengan proses pencarian ilmu. Oleh agama, kita diajarkan untuk mencari ilmu min al-mahdi ila al-lahdi, dari ayunan sampai liang lahat. Unesco pun mencanangkan program 'long life education", belajar seumur hidup. Mengapa generasi kita yang baru lulus SMA saja sudah terlalu puas dan gembira seperti itu?
Kedua, adanya karakter show of force. Budaya corat-coret sudah pasti selalu melibatkan proses pengerahan massa yang banyak. Tak jarang jika aksi konvoi seringkali menimbukan tawuran antar pelajar. Hal ini karena ada upaya show of force, unjuk kekuatan antara kelompok pelajar yang satu dengan yang lainnya. Dan tradisi unjuk kekuatan ini jika dibudidayakan akan melahirkan tradisi anarkisme kolektif antar kelompok. Sehingga tipologi show of force dalam aksi konvoi saya rasa menjadi preseden buruk terhadap mengembangan karakteristik generasi muda.
Ketiga, adanya kecenderungan bad celebration. Selebrasi atas kesuksesan boleh saja dirayakan. Namun perayaan dengan aksi corat-coret rasanya bukan perayaan yang baik. Sebaliknya, merupakan bagian dari perayaan yang berlebih-lebihan dan jauh dari prinsip kebermanfaatan. Jika generasi muda kita sudah mulai mentradisikan perayaan buruk ini, maka tentunya akan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Sehingga, aksi carat-coret ini akan melestarikan sebuah tradisi buruk yang akan selalu diikuti oleh generasi sesudahnya.
Menguji Ketegasan Sekolah
Sekolah sebagai lembaga yang selama ini mendidik para siswa tentunya mempunyai pengaruh yang besar bagi prilaku siswa dalam menyambut kelulusan ini. Bagaimanapun Sekolah merupakan lembaga yang mempunyai otoritas untuk melarang praktek selebrasi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan. Jika di detik-detik akhir "masa aktif" ini, sekolah tidak mampu mendidik mereka, maka ini adalah sebuah pembelajaran yang su'ul khotimah, akhir yang buruk.
Di beberapa sekolah ada yang secara tegas melakukan treatment dan sanksi bagi siswanya yang masih melakukan aksi corat-coret dan konvoi. Mulai dari pemanggilan orang tua wali sampai pada penangguhan ijazah bagi siswa yang bersangkutan. Hal ini tentu saja memiliki nilai positif, namun terkesan reaktif dan tidak preventif. Upaya yang kiranya lebih efektif dilakukan adalah melakukan penyadaran akan nilai negatif dalam aksi corat-coret tersebut. Tentunya ini bukanlah persoalan mudah, karena tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat.
Proses penyadaran ini sudah seharusnya include dalam proses pembelajaran yang selama ini dilakukan. Inilah proses pembentukan karakter siswa. Jika siswa sudah sadar dan terbangun karakter yang kuat, maka secara otomatis mereka tidak akan melakukan aksi yang bertentangan dengan nilai dan norma yang ada. Dan hal itu adalah tantangan bagi kita orang tua dan guru.
Selain itu, selebrasi buruk tersebut harus mulai digeser dengan selebrasi yang lebih baik dan bermanfaat. Kreatifitas sekolah dalam hal ini menjadi variabel penghubung untuk melahirkan sebuah selebrasi yang kreatif dan bermanfaat.