Muhamad Taufik BK
Pada tulisan kali ini merupakan intisari artikel yang pernah saya seminarkan pada acara seminar internasional Pendidikan Islam : INTERNATIONAL CONFERENCE ON ACEH AND INDIAN OCEAN STUDIES "Reawakening Islamic Civilization: Revitalizing Wasatiyat in the Contemporary World" yang diselenggarakan oleh Pascasarjana UNIVERSITAS ISLAM NEGER AR-RANIRY pada 14-16 November 2019 lalu. Dan Alhamdulillah saya meraih Presenter dan papper terbaik (bestpapper).
Teman-teman bisa download artikel asli dalam bahasa Inggris (pdf) pada jurnal Islam FUTURA UIN AR-RANIRY ACEH terakreditasi SINTA-2 pada link : https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/5797
Adapun yang ditampilkan kali ini adalah bagian pembahasan utama dari artikel utama. Semoga bermanfaat.....
Revolusi industri keempat (Industri 4.0) telah menjadi topik utama di seluruh dunia. Era Industry 4.0 merangsang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui Internet of Things (IoT), Internet of Services (IoS), Internet of Data (IoD) dan Cyber-Physical Systems (CPS) yang menghasilkan penciptaan mesin pintar atau robot otonom. Era Industri 4.0 mendapat respon cepat di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia mengimbau kepada bangsa Indonesia literasi teknologi dalam semua aspek, terutama pada aspek pendidikan (Anwar et al. 2018).
Di era revolusi industry 4.0 tenaga manusia digantikan oleh mesin yang terkoneksi secara digital melalui jaringan internet. Maka tak heran banyak dunia usaha atau profesi yang gulung tikar karena tidak mampu beradaptasi dan berinovasi. Menurut survei WEF sebagaimana dikutip oleh (Vuksanovi, Ugarak, and Korok (2016), pada tahun 2020 sebanyak lima juta lapangan pekerjaan bisa hilang karena menggunakan digitalisasi dalam industri negara-negara modern.
Survey tersebut diperkuat oleh hasil penelitian McKinsey pada 2016 bahwa dampak dari digital tecnology menuju revolusi industri 4.0 dalam lima tahun kedepan akan ada 52,6 juta jenis pekerjaan akan mengalami pergeseran atau hilang dari muka bumi (Priyatmoko 2018: 12). Digitalisasi akan dengan cepat menghentikan permintaan pasar untuk produk yang dibuat oleh teknologi yang sudah ketinggalan zaman karena kurangnya kualitas, dan produksi semacam itu harus ditutup karena biaya tinggi dan inefisiensi. Penerapan dari digitalisasi ini tentunya memberikan dampak signifikan pada industri di negara berkembang termasuk di Indonesia.
Hasil penelitian di atas memberikan pesan bahwa dalam kompetisi global era 4.0 harus dipersiapkan mental dan skill yang mempunyai keunggulan persaingan (competitive advantage) dari lainnya. Skill utama yang harus dimiliki adalah mempunyai perilaku yang baik (behavioral attitude), meningkatkan kompetensi diri dan memiliki semangat literasi. Bekal persiapan diri tersebut dapat dilalui dengan jalur pendidikan (long life education) dan konsep diri melalui pengalaman bekerjasama lintas generasi/lintas disiplin ilmu (experience is the best teacher)(Syam and Arifin 2017; Suwardana 2018).
Saat ini apa yang dinamakan era 4.0 merupakan era di mana informasi dapat dengan cepat disebarluaskan dan diterima dari berbagai penjuru dunia. Melalui smart phone orang dapat mengakses beragam informasi dan transaksi. Keterbukaan akses komunikasi dan informasi ini dapat disalahgunakan dan memberi dampak negatif apabila tidak dibarengi karakter yang baik. Penyalahgunaan media informasi akan memberi dampak terhadap permasalahan sosial yang berkepanjangan. Merebaknya perilaku korupsi, konflik, tawuran, perilaku anarkis, bullying, pornografi, seks bebas, meningkatnya kriminalitas, perkosaaan, pembunuhan, rendahnya etos kerja, ketidak adilan penegakkan hukum, hilangnya rasa hormat dan lain sebagainya menjadi budaya di tengah masyarakat yang membuat bangsa ini sulit bangkit dari keterpurukan (Paryana 2014). Kondisi ini diperparah adanya fakta Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi sangat tinggi di dunia. Kecintaan akan budaya tradisional sebagai warisan adi luhung bangsa pun kian terkikis. Seolah bangsa ini mulai kehilangan nasionalisme dan rasa ke-Indonesiaannya (Budimansyah, 2012).
Dari berbagai literature, dapat dijumpai sekurang-kurangnya delapan penyakit yang dijumpai dalam masyarakat modern (Nata 2005: 82). Pertama, disintegrasi antar ilmu pengetahuan yang berakibat timbulnya pengkotak-kotakannya aka pikiran manusia dan cenderung membingungkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (splite personality) sebagai dampak dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai ketuhanan. Ketiga, dangkalnya rasa keimanan, ketakwaan serta kemanusiaan sebagai akibat dari kehidupan yang terlampau rasionalistik dan indivodualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistic sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi secara berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara sebagai akibat paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stress dan frustasi, sebagai akibat terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya tanpa diberengi sikap tawakkal dan beriman kepada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan terasing di tengah-tengaah keramaian (lonely) sebagai akibat sikap individualistic. Delapan, kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang.
Seringkali ketika terjadi krisis karakter, tuduhan diarahkan kepada pendidikan agama sebagai penyebabnya. Hal ini sangat wajar mengingat Pendidikan Agama Islam menjadi barisan terdepan mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas baik secara hardskill maupun softskill. Pertanyaan yang muncul adalah, dimanakah peran strategis Pendidikan Agama Islam dalam penguatan karakter di era revolusi industri 4.0 ? Pertanyaan inilah yang kemudian harus dijawab sebagai tantangan eksistensi PAI di era revolusi industry 4.0.