Lihat ke Halaman Asli

Hidup di Masa Kini: Memilih Bahagia Sekarang, Bukan Nanti

Diperbarui: 24 November 2024   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto Postingan X Dari Jes (@bookwormdaily) (Sumber: X.com)

Berapa sering kamu mendengar (atau mungkin berkata pada diri sendiri):"Nanti kalau sudah lulus, baru aku bahagia.""Nanti kalau sudah punya pekerjaan, baru aku bahagia."
"Nanti kalau gaji sudah sekian, baru aku bahagia."

Pola pikir seperti ini sangat umum. Kita sering mengasosiasikan kebahagiaan dengan sesuatu di masa depan---sebuah pencapaian yang belum terjadi. Namun, pola pikir seperti ini melahirkan siklus yang berbahaya: kebahagiaan selalu terasa jauh di depan, tidak pernah hadir di saat ini. Apakah kamu sadar bahwa mungkin saja saat ini, kamu sedang menjalani hidup yang dulu kamu impikan?

Postingan Jess (@bookwormdaily) mengingatkan kita untuk berhenti mengejar kebahagiaan di masa depan dan mulai memilih untuk bahagia sekarang. Dengan menerima dan bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini, kita bisa keluar dari siklus "nanti" yang tidak ada habisnya. Lalu, bagaimana kita bisa menerapkan ini dalam hidup? Mari kita lihat perspektif berbagai filsafat tentang kebahagiaan.

1. Epikurisme: Kebahagiaan Ada di Hal-Hal Sederhana

Filsuf Yunani, Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan bukanlah tentang kemewahan atau pencapaian besar, tetapi tentang menikmati hal-hal kecil dalam hidup. Bersyukur atas makanan sederhana, waktu bersama teman, atau istirahat yang cukup bisa menjadi sumber kebahagiaan. Jika kita selalu berfokus pada tujuan besar di masa depan, kita sering mengabaikan momen kecil yang sebenarnya memiliki nilai besar.

Penerapan: Luangkan waktu untuk memperhatikan hal-hal sederhana di sekitarmu. Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa kamu syukuri hari ini? Mungkin secangkir kopi hangat, sinar matahari pagi, atau percakapan ringan dengan teman.

2. Stoikisme: Fokus pada Kendali Diri

Stoikisme, sebuah filosofi Romawi kuno, menekankan bahwa kebahagiaan datang dari mengendalikan respons kita terhadap situasi, bukan dari situasi itu sendiri. Marcus Aurelius menulis, "Kebahagiaan hidupmu tergantung pada kualitas pikiranmu." Ketika kita menunda kebahagiaan dengan harapan sesuatu yang besar akan terjadi, kita menyerahkan kendali atas emosi kita pada hal-hal yang tidak pasti.

Penerapan: Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan---perasaanmu, usahamu, dan sikapmu. Jika sesuatu di luar kendalimu (seperti masa depan), lepaskan. Kebahagiaan adalah pilihan yang bisa kamu buat hari ini.

3. Filosofi Kejawen: Narimo Ing Pandum

Dalam tradisi Jawa, konsep "narimo ing pandum" mengajarkan kita untuk menerima dengan ikhlas apa yang sudah diberikan hidup. Bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi ada ketenangan dalam menerima bahwa hidup tidak harus sempurna untuk bisa dinikmati. Jika kamu terus merasa bahwa "bahagia" harus menunggu sesuatu yang besar, kamu kehilangan kesempatan untuk menikmati momen-momen kecil yang penuh makna.

Penerapan: Cobalah berhenti sejenak. Lihatlah apa yang kamu miliki saat ini. Apakah kamu sadar bahwa hal-hal yang dulu kamu doakan kini telah menjadi kenyataan?

4. Eksistensialisme: Kebebasan untuk Memilih

Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis, mengatakan bahwa manusia bebas menentukan makna hidupnya sendiri. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicapai dengan memenuhi standar masyarakat, tetapi keputusan individu untuk merasakan makna dalam hidupnya. Jika kamu terus menunggu "nanti," kamu menyerahkan kebebasanmu kepada sesuatu yang abstrak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline