Lihat ke Halaman Asli

Perampasan dan Kemiskinan di Indonesia

Diperbarui: 21 Desember 2022   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan global yang tak kunjung usai. Kita akan dengan mudah menemukan catatan atau kisah-kisah kemiskinan mulai dari karya fiksi, atau laporan resmi dalam berbagai penelitian atau laporan organisasi internasional yang berisi persoalan kemiskinan. 

Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sejumlah 1,63 juta penduduk sehingga total penduduk miskin menjadi 26,42 juta (Thomas, 2020). 

Pada rentang 2016 hingga 2018, merujuk pada laporan yang dikeluarkan oleh Asian Development Bank (ADB) 22 juta penduduk di Indonesia mengalami kelaparan dengan tingkat kronis (Widyastuti, 2019). Bahkan, pada tahun 2007 dilaporkan 50.000 masyarakat Indonesia melakukan bunuh diri karena kenaikan harga bahan pokok yang dipicu oleh kenaikan harga BBM (VHR Media, 2007).

Tulisan ini akan membahas bagaimana kapitalisme, lebih lanjut ketimpangan struktur kepemilikan lahan dan praktik perampasan lahan dalam corak produksi kapitalisme berkontribusi terhadap pemiskinan masyarakat di Indonesia. Sebelum pembahasan lebih lanjut, kiranya perlu diberikan suatu pengertian mengenai apa itu kapitalisme. Kapitalisme tidak merujuk pada uang, benda, atau institusi. 

Kapitalisme merupakan sebuah hubungan sosial produksi. Sebagai sebuah hubungan sosial produksi, maka hubungan yang diacu dalam hal ini adalah hubungan antara manusia dengan manusia lebih spesifiknya adalah hubungan antara yang memiliki alat produksi dan mereka yang tidak memiliki alat produksi (Pontoh, 2021). 

Sebagai sebuah sistem hubungan sosial produksi, kapitalisme dicirikan setidaknya oleh lima hal yang tidak terpisahkan satu sama lain: (1) adanya produksi komoditas bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk dipertukarkan; (2) adanya kerja upahan; (3) kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas melalui eksploitasi terhadap tenaga kerja dan alam sebagai tuntutan struktural; (4) organisasi yang rasional; (5) watak ekspansionis dan dinamis (Howard & King, 1975).

Lebih lanjut, kapitalisme membuat struktur sosial menjadi terstratifikasi dalam artian ada hierarki dalam struktur sosial di masyarakat secara vertikal yang didasarkan pada kepemilikan alat produksi. Menurut Dumenil dan Foley, dalam masyarakat kapitalis muncul sebuah eksploitasi kelas, sebuah bentuk ketidaksetaraan yang terinstitusionalisasi. 

Masyarakat terbagi ke dalam kelas yang mengeksploitasi, yang berjumlah kecil dan mengambil, mengontrol serta mendistribusikan produk surplus yang dibuat oleh kelas produsen yang dieksploitasi. Struktur sosial yang melanggengkan ketimpangan diperlukan dalam corak produksi kapitalisme untuk terus mengakumulasikan modal tanpa batas. 

Struktur sosial tersebut dibutuhkan untuk menopang watak kapitalisme yang ekspansif, entah itu untuk memperluas operasi ke dunia yang belum terjamah corak produksi kapitalisme, atau untuk mengomodifikasi barang-barang yang sebelumnya bukan komoditi menjadi komoditi yang diperjualbelikan di pasar (Howard & King, 1975:6).

Wataknya yang ekspansif, dalam rangka untuk memperluas operasi kapitalisme inilah yang membuat terjadinya berbagai kasus perampasan lahan, terutama di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. 

Laporan yang dirilis oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada tahun 2021 lalu setidaknya terjadi 207 konflik agraria yang tersebar di 32 provinsi dengan luas lahan konflik mencapai lebih dari 500.000 hektar (Herman, 2022). Bukti lainnya yang disampaikan KPA adalah laporannya mengenai ketimpangan tanah di Indonesia, di mana 68% tanah dikuasai oleh 1% korporasi (CNN Indonesia, 2021). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline