Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Nurdin

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Ulama Perlunya Retorika Politik

Diperbarui: 17 Februari 2024   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ulama. sumber gambar (wikimedia)

Tepatnya rabu, 14 Februari 2024, adalah saat-saat simbolik, dimana kita sebagai warga negara berhak untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.

Bursa capres dan cawapres sudah menggelembung keudara. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya sebisa mungkin menangkap sinyal-sinyal bursa calon itu dengan parabola hati nurani kita masing-masing.

Masing-masing calon sudah melemparkan visi misi ke khalayak masyarakat Indonesia, mereka melontarkannya lewat debat yang digagas KPU.

Lima tahun silam, tepatnya April  2019, kita tahu bahwa ada  cawapres diantara anak-anak bangsa itu terlahir dari rahim sang waktu dengan menyandang predikat ulama.

Dalam bayangan kita, terekam sosok ulama adalah berkopiah, bersorban, berjenggot, jauh dari gebyar-gebyar dunia dan tak ketinggalan sifat keluguannya yang mencerminkan sebagai panutan ummat.

Namun bayangan itu sempat memudar ketika  akhir-akhir ini dihentakan oleh berita di sosial media yang sering mengangkat ulama kita dalam berpolitik praktis, baik itu melalui lembaga organisasi atau perseorangan, yang menyokong salahsatu calon.

Terlepas dari persoalan bingkai pemikiran Anda tentang sosok ulama, yang jelas kita harus mengkaji ulang fenomena keterlibatan ulama dan politik. Atau yang lebih jelasnya persoalan kekuasaan, karena persoalan politik adalah persoalan kekuasaan (the esence of politic is power).

Fenomena tersebut tentu saja sangat menarik untuk dikaji, mengingat sosok ulama adalah sebagai "pemanggul" pewaris para Nabi. Kalau begitu, kenapa ulama tergoda politik? Apakah fenomena ini merupakan gerakan terbaru bagi para ulama untuk sekedar mengejar "gengsi" atau sekedar meneriakan inilah sosok ulama yang tidak ketinggalan deru lajunya sebuah kereta zaman?

Saat ini kita juga sedang menyaksikan "pementasan" drama yang dimainkan oleh "aktor" ulama kita dipanggung politik dan kekuasaan.

Artinya ulama kita sedang giat memasuki lahan kritis yang dianggap "tabu" oleh masyarakat pendukungnya. Mengingat basis potensial ulama terbesar adalah di pedesaan yang masih kuat memegang ajaran kewalian.

Apakah ulama memasuki  gelanggang politik itu haram? Sebuah pertanyaan yang menggelitik, yang harus dijawab tidak sambil lalu, tetapi harus dijawab dengan sebuah penelaahan, sambil dibarengi dengan kejujuran kita "memotret" sosok ulama sebagai peneratas jalan ketuhanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline