Dibutakan oleh Cahaya, ditulikan oleh gemuruh suara.
Piala Dunia 2022 Qatar telah bergulir dan menghadirkan beberapa kejutan yang belum pernah terjadi di dunia Kulit Bundar.
Namun dibalik gemerlapnya lampu-lampu dan sorak sorai yang menggema di Qatar saat ini, menghadirkan ilusi bagi beberapa orang yang berharap ajang ini sebagai ajang yang memberikan banyak manfaat sekaligus berkah.
Seperti yang diceritakan oleh Miguel Delaney lewat tulisannya di Independent.co.uk (28/11/2022), Ia membagikan pengalamannya ketika naik taksi di Doha baru-baru ini. Tak diduga, sang sopir taksi yang berasal dari Asia Selatan tersebut berkata "Bisakah anda memberikan saya tips?" ungkapnya. "Saya tidak punya uang untuk makan."
Sebuah kontradiksi yang terjadi dimana ajang Piala Dunia ini seharusnya menjadi sebuah penantian bagi banyak orang khususnya para pekerja migran untuk mendulang uang mengingat banyaknya pelancong yang berkunjung ke negeri yang kaya akan minyak bumi dan gas alamnya tersebut.
Siapapun yang menginjakan kaki ke Doha di minggu pertama Piala Dunia ini setidaknya akan memiliki cerita serupa yang mereka alami atau dilihat dengan mata kepala mereka sendiri.
Potret seperti ini ternyata menjadi momok yang cukup banyak ditemui di tengah gelimangan uang yang dikucurkan oleh pemerintah Qatar untuk kompetisi empat tahunan ini.
Tak hanya itu, Human Rights Resource Center melaporkan adanya enam kasus pelecehan seksual terhadap para pekerja migran dalam kurun waktu seminggu pertama turnamen tersebut digelar.
Tak terekspos, terabaikan, tapi itulah yang terjadi.
Anomali Kemewahan Lusail
Dibalik kemewahan Lusail, sebuah kota baru yang sengaja dibangun di sekitar venue untuk opening ceremony dan partai final nanti, ternyata menyimpan isu-isu yang cukup menarik sekaligus menohok untuk kita telusur lebih lanjut.