Lihat ke Halaman Asli

Awal Mula Perselisihan antara Suku Sunda dan Jawa. Perang Bubat

Diperbarui: 12 Desember 2022   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perang Bubat

Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda pada tahun 1357. Perang Bubat yang juga disebut Pasunda Bubat, lokasi pertepuran Bubat diperkirakan di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit yang sekarang sekarang kira-kira di dusun Bubat, Desa Tempuran, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.

Perang Bubat diawali dari rencana perkawinan politik antara Raja Majapahit (Hayam Wuruk) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Prabu Linggabuana wisesa (Raja Sunda).  Patih Madhu, seorang mak comblang dari Majapahit diutus ke kerajaan Sunda untuk meminang Dyah Pitaloka. Prabu Linggabuana senang dengan laamran itu dan berkesempatan untuk beraliansi dengan kerajaan Majapahit.

Robongan kerajaan Sunda berangkat menggunakan kapal jong sasanga wangunan dan tiba di pelabuhan Hujung Galuh kemudian dilanjutkan dengan berlayar melalui sungai Brantas dan tiba di pelabuhan sungai Canggu. Rombongan kerajaan kemudian berkemah di alun-alun Bubat di bagian utara Trowulan, ibu kota Majapahit, dan menunggu upacara pernikahan.

Para Mentri Majapahit serta Mahapatih Gajah Mada melihat kesempatan itu untuk menyerahkan dan para keluarga kerajaan Sunda ke kerajaan Majapahit, dan menjadikan putri Prabu Linggabuana sebagai selir dari Raja Majapahit bukan sebagai Permaisuri. Prabu Linggabuana marah mendengar penghinaan itu kemudian memutuskan untuk pulang dan membatalkan pernikahan kerajaan. Gajah Mada melaporkan keputusan Raja Sunda yang membatalkan pernikahaan itu (ke istana). Bhre Prameswara dari Wengker menyatakan perang dengan orang-orang Sunda. Dengan demikian, pasukan Majapahit mengepung orang Sunda. Orang Sunda yang melihat deklarasi perang dari Majapahit memilih mempertaruhkan nyawa demi menjaga harga diri dan kehormatan orang Sunda.

Diperkirakan orang Sunda yang ikut kurang dari seratus orang dan Hampir semua orang Sunda yang sebagian besar adalah para bangsawan meninggal di pertempuran yang tak seimbang itu termasuk juga Raja Sunda Prabu Linggabuana Wisesa. Para wanita Sunda yang ikut dalam acara tersebut memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri untuk membela kehormatan orang Sunda.

Keberanian Prabu Linggabuana dan Perbuatan Dyah Pitaloka dipuji sebagai tindakan mulia kehormatan oleh orang-orang Sunda. Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dipuji oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi yang berarti Raja dengan aroma yang menyenangkan. Karena tindakan heroiknya untuk mempertahankan kehormatannya melawan Majapahit, keturunannya, yang kemudian menjadi raja Sunda, disebut Siliwangi (bahasa Sunda: penerus Wangi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline