Rupanya, paham feminisme tidak hanya disebarkan melalui satu jalan saja. Banyak sekali jalan yang ditempuh untuk menaburkan paham-paham feminisme di Indonesia. Sejarah kemunculan paham ini seringkali dikaitkan dengan gerakan beberapa tokoh wanita Indonesia, salah satunya Raden Ajeng Kartini.
Pada tahun 1911, Mr. Jacques Henrij Abendanon, seorang Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan isi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink Soer, dll), ia menyusunnya menjadi sebuah buku dan menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini meninggal.
Buku ini menjadi tambah populer di Indonesia ketika Armijn Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka dan sastrawan Indonesia, menerjemahkannya pada tahun 1922 dan memberinya judul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Menurut Tiar Anwar, buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabat seorang wanita untuk sejajar dengan laki-laki. Kata "emansipasi wanita" pun menjadi tidak asing di Indonesia. Bahkan, karena buku ini Kartini pun didaulat menjadi seorang pahlawan wanita kebanggaan Indonesia.[1]
Buku tersebut memuat 87 surat yang ditulis oleh Kartini kepada teman-teman Belandanya. Dalam surat tersebut berisikan keinginan, keluhan, dan kritikan Kartini. Terdapat 30 surat yang memuat gagasan feminsime, 18 surat tentang keinginan Kartini, 15 surat tentang keluhan Kartini, dan 5 surat tentang kritik Kartini kepada adat-istiadat Jawa. [2]
Dalam surat-suratnya, Kartini menceritakan keluhannya sebagai anak wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia merasa selalu dipandang dan ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya pun menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, meski akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.[3]
Salah satu surat yang Kartini tulis adalah surat yang dikirim pada tanggal 25 Mei 1899 kepada Stella Zeehandelaar: "Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah. Ketika saya sudah berumur duabelas tahun, lalu saya ditahan di rumah -saya mesti masuk " tutupan "; saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami. (Pane, 2011: 41).[4]
Berdasarkan pengalaman tersebut, berkesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.[5] Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang benderang.
Namun, tegas dikatakan R.A Kartini bukanlah pengusung Feminisme di Indonesia karena beberapa hal:
Pertama, pada akhirnya Kartini memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya tersebut. Kartini rupanya lebih senang menjadi seorang wanita Jawa yang apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angan-angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat ia musuhi dan dianggapnya sangat "diskriminatif" terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusan yang diambilnya sangat disayangkan oleh teman-teman Belandanya, terutama Stella. Stella merasa kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.[6]
Kedua, tidak berselang lama setelah pernikahannya, Kartini menulis surat kepada J. H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikaan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja: "Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul- betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam 'segala hal' keadaan saya 'baik' dan 'me- nyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia..." (Surat-Surat Kartini, hal. 348). Melihat hal ini, rupanya Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas dan ditindas oleh pernikahan poligami yang ia jalankan. [7]