Puncak dari segala puncak perpolitikan Indonesia terjadi pada saat menggelindingnya isu demokrasi terpimpin. Dekrit 5 Juli 1959 adalah titik awal di mana Indonesia memberanikan diri melakukan petualangan politik serta ikhtiar bagi pencarian jatidiri suatu bangsa yang baru merdeka dan berdaulat.
Kepungan negara-negara imperialis serta mengerasnya raja-raja kapital dalam membangun kekuatan status quo, membuat bung Karno tak bergeming untuk bereksprementasi menciptakan Indonesia baru bahkan mengumandangkan tata dunia baru ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sudah dipertimbangkan sejak mula-mula bahwa demokrasi-barat yang sedang berjalan, setelah 50 persen tambah satu anggota parlemen mengambil keputusan, jutaan rakyat tertindas tidak begitu saja puas dan senang menerima nasib yang sudah diputuskan secara demokratis di dewan perwakilan tersebut.
Hal ini bukan lantas Bung Karno identik dengan anti Barat. Sama sekali tidak. Ia cukup tegas mengakui sumbangan pencerahan para pemikir Barat bagi kemerdekaan nasional serta hak individu dan hak-hak asasi manusia.
Bung Karno adalah pemimpin yang sangat jeli dalam mempertimbangkan segala perbandingan, terutama setelah menelusuri sepanjang sejarah politik modern di seluruh dunia bahwa rakyat tertindak yang ingin memperbaiki nasibnya pada akhirnya selalu berada di pihak yang kalah. Sedangkan kaum pemodal (kapitalisme) selalu saja memang dan berhasil dalam memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan baginya.
Kenyataan tersebut membuat Bung Karno sampai pada kesimpulan bahwa dengan menggalang persatuan dan kesatuan nasional maka rakyat-rakyat tertindak dapat memenangkan “pertarungan” hingga dapat memperoleh kesempatan untuk memperbaiki nasibnya.
Dari sini bisa kita lihat bahwa kesatuan dan persatuan yang dicita-citakan bung Karno bukanlah suatu megalomania untuk mencapai kejayaan ‘Indonesia Raya’ tetapi memang prasyarat dan bagian dari konsep demokrasinya bung Karno demi penegakan demokrasi itu sendiri, terutama untuk memberdayakan segenap rakyat dalam membangun dan mewujudkan cita-cita sosial-politiknya.
Bila kita bicara tentang demokrasinya Bung Karno maka kita sudah masuk pada persoalan “demokrasi terpimpin”yang dianggap tabu dan angker, khususnya oleh mereka-mereka yang tidak mengerti – dan tidak mau mengerti – apa dan bagaimana demokrasi terpimpin itu bisa muncul dan berkumandang di bumi Indonesia.
Para penulis barat pada umumnya hanyalah melakukan analisis bagi pembenaran hypothesa belaka, yang dipandang dari sudut kebaratannya. Padahal demokrasi terpimpin jelas berbeda, karena merupakan ikhtiar terobosan serta pergelutan menemukan synthesa dari iklim demokrasi barat yang sudah berabad-abad lamanya.
Lalu, apakah Anda setuju dengan konsep Demokrasi Terpimpin, dan apa tanggapan Anda ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H